Penegakan Hukum di Indonesia, Senada Namun Tak Seirama
Beberapa hari ini di Indonesia headline di media cetak, elektronik dan daring (online) marak dengan pemberitaan tentang penangkapan Bambang Widjojanto (BW) pada 23/01/2015. Tak urung timeline di media sosial bukan hanya sekedar padat merayap tetapi sudah padat sesak, untungnya tidak terjadi kemacetan yang berujung pada fraud di sistemnya. Sebagain besar masyarakat berkomentar positif, negatif, miring hingga pedas, demikian juga netizen saling menuliskan status dan kicauan dengan bermacam nada. Mungkin jika disamakan dengan tangga nada, komplit sudah status dan kicauan itu, do re mi fa sol la si do dibalik lagi do si la sol fa mi re do.
Penegakan hukum di Indonesia sama halnya seperti itu, bolak balik ke perihal yang itu itu saja. Tidak ada perubahan yang signifikan dan progresif. Tensi memanas dimulai sejak ditetapkannya Komjen Budi Gunawan menjadi tersangka oleh KPK pada 13/01/2015, dimana seperti diketahui pejabat polisi ini merupakan calon tunggal Kapolri. Banyak media menuliskan pejabat ini diduga mempunyai rekening yang tidak lazim jumlahnya dan tergolong “rekening gendut”. Kemudian seperti berbalas pantun, selang beberapa waktu kemudian Bambang Widjojanto yang merupakan salah satu pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi ditangkap oleh tim Bareskrim Mabes Polri. Anehnya saat dikonfirmasi, pada awalnya Plt Kapolri, Badrodin Haiti bahkan tidak mengetahui bahwa telah terjadi penangkapan terhadap Bambang Widjojanto. Sungguh tak lazim, terhadap penangkapan seseorang yang dapat dikategorikan sebagai pejabat negara, orang nomor satu di Kepolisian tidak mengetahuinya. Dasar penangkapan ini karena berdasarkan laporan bahwa Bambang Widjojanto diduga telah mengarahkan saksi untuk memberikan kesaksian palsu pada saat berlangsungnya sidang di Mahkamah Konstitusi tahun 2010 mengenai sengketa pilkada Kotawaringin Barat.
Kemudian banyak pihak meramaikan peristiwa ini dengan cicak versus buaya jilid terbaru, lantas dengan beragam argumen mulailah diskusi di sana dan sini, bahkan ada yang mengkaitkannya dengan teori konspirasi. Perihal ini pun sudah pernah dibahas hangat hingga memanas beberapa waktu lampau. Rasanya memang penegakan hukum di Indonesia masih akan seperti ini dalam periode lima hingga sepuluh tahun mendatang. Hal ini dikarenakan penghabisan periode rezim sebelumnya ditengarai membutuhkan waktu setidaknya dua puluh hingga dua puluh lima tahun, terhitung sejak tumbangnya orde baru pada 1998.
Setelah masa itu, harapan ditujukan kepada para muda usia sekarang yang nantinya akan memegang amanah sebagai pejabat negara atau pelaksana penegakan hukum di Indonesia. Para pemuda inilah yang sezaman dengan saya yang nantinya akan memajukan Indonesia dalam berbagai bidang. Pemuda yang lekat dengan teknologi, gaya hidup terkini dan bermacam kemudahan yang mendera. Namun dengan tetap mempunyai visi modern dan adaptif terhadap perubahan zaman serta turut menstabilkan kondisi negara. Zaman sudah berubah, maka tak perlu syak wasangka lagi, perubahan mindset (pola pikir) juga mesti mengikutinya. Relevankah jika anda masih kekeuh untuk menghidupkan pengadilan swapraja di masa sekarang ini? Apakah anda masih bersikeras juga untuk inzage suatu berkas perkara dengan mencatat seluruhnya ? ataukah anda tidak menginginkan perubahan terbaru KUHP dan KUHAP yang dirasakan sudah ketinggalan zaman? Ataukah mungkin anda akan mengusulkan suatu petisi atau rancangan peraturan untuk menghidupkan lagi aturan tentang perbuatan tidak menyenangkan, dimana hal itu sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Mahkamah Konstitusi ?
Menjadikan Indonesia yang bermartabat dan berkeadilan sudah menjadi dambaan segenap tumpah darah masyarakat Indonesia. Sepertinya terdengar idealis dan nampak utopis, namun bukankah jika aparat penegak hukum mempunyai idealisme dan melayani para pencari keadilan dengan sepenuhnya maka negara bangsa ini juga akan memperoleh manfaatnya. Sukakah anda dengan keadaan chaos, darurat sipil bahkan darurat militer? Jika anda menyukainya nampaknya anda suka dengan peperangan, huru hara dan anti stabilitas nasional.
Para sarjana hukum di Indonesia hari hari ini saling beradu argumen, dengan menggunakan dalil dan landasan hukum yang diyakini kebenarannya oleh masing masing pihak. Sudah saatnya kaum muda usia yang sezaman dengan saya untuk mulai berpikir dan bertindak serta risau terhadap kondisi pendidikan hukum dan penegakan hukum di Indonesia. Sistem sebagai suatu tata laksana akan berjalan dengan baik, jika pelaksananya yaitu manusianya juga berlaku baik. Adanya kelemahan dan lubang dalam suatu sistem dapat saja diperbaiki sesuai dengan mekanisme yang ada.
Jika para pengacara muda atau pengacara magang mau untuk menolak melakukan praktik praktik yang tidak baik dalam praktik hukum niscaya dimulai dari saat ini dan selanjutnya praktik hukum di Indonesia akan mulai terkondisikan dengan baik. Pengacara yang sudah senior dan ahli pun sebaiknya tidak mengajarkan perihal yang buruk kepada para juniornya, karena jika hal ini terus dilestarikan, lingkaran setan ini tidak akan pernah bisa terhenti. Dan manusia berada di antaranya yaitu antara malaikat dan setan.
Menang atau kalah dalam suatu persidangan dapat diketahui dari alat bukti, fakta yang tersaji di persidangan hingga kuatnya dasar hukum yang melandasinya. Maka janganlah para pengacara muda merasa takut kalah dalam suatu sidang pengadilan dan menjadi olokan sebagai pengacara yang kalah. Ingatlah bahwa penegakan hukum- yang dalam bahasa awam sering disebut dengan menang atau kalah-, lebih kepada fungsi keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum. Memang seperti adu gengsi antar pengacara untuk memperoleh predikat tak terkalahkan. Namun bukan itu yang menjadi soal, jika landasaan dan fakta hukum dan alat bukti yang disajikan lemah dan kemudian dalam persidangan ternyata memenangkan perkara, maka sudah barang tentu kuat diduga ada “sulap” yang terjadi.
Sebagai contoh, lihatlah perkara yang banyak terjadi di masyarakat yaitu perihal sengketa pertanahan, perkara ini memang rumit dan cakupan permasalahannya terkadang meluas. Hal ini juga karena administrasi pertanahan yang kurang baik serta aturan pertanahan yang masih tumpang tindih ditambah pula praktik hukum dalam sengketa pertanahan yang menurut banyak pihak yang berperkara tidak berkeadilan.
Jika anda sebagai pengacara kerap menangangi sengketa pertanahan, hampir dapat dipastikan menggunakan landasan hukum yang bersumber dari yurisprudensi tentang sengketa pertanahan. Sedangkan yurisprudensi tentang pertanahan terkadang masih silang sengkarut di sana sini. Dasar hukum sebagai pembeli yang beritikad baik saja masih kurang pembuktiannya jika tanpa disertai alat bukti tertulis. Bahkan alat bukti tertulis yang telah berbentuk sertifikat saja masih belum dapat dipastikan sahih benar sebagai alas hak yang nyata. Ditambah pula adanya suatu putusan pidana yang menyatakan bahwa telah terjadi perbuatan pidana atas transaksi tanah masih saja belum dapat menguatkan hak atas tanah tersebut.
Maka sungguh banyak perihal yang mesti dibenahi dan diselesaikan, hal ini tidak dapat menunggu lagi, karena semakin lama terjadi pembiaran, permasalahan akan semakin menumpuk dan berbahaya bagi ekosistem hukum dan penegakan hukum di Indonesia. Maka saatnya bagi kita untuk menyelamatkan semua institusi penegak hukum di Indonesia dan bukan hanya KPK atau Polri saja.