Undang Undang Anti Terorisme di Mesir Menuai Kecaman
Beberapa waktu ini dunia dilanda topik global yaitu tentang potensi terorisme dan serangan terorisme. Banyak negara memperkuat sistem pertahanan dan juga aturan hukumnya. Muncul pula daftar organisasi dan gerakan yang dicurigai sebagai kelompok radikal dan berpotensi untuk melakukan serangan terorisme.
Seperti yang terjadi di Mesir, Presiden Abdel Fattah al Sisi, pada 24/02/2015 menerbitkan suatu keputusan baru mengenai Undang Undang No.8 tentang Organisasi Teroris. Undang Undang ini sendiri berisi 10 pasal, dimana pada pasal 1 mendefinisikan tentang entitas terorisme, pelaku terorisme, melacak sumber keuangan, pendanaan dan pembekuan pendanaan terkait aktivitas teroris. Pasal yang lain menerangkan tentang tugas pihak yang berwenang untuk menerbitkan daftar organisasi teroris dan pihak lain yang terkait terhadap organisasi itu.
Aturan hukum itu menyebutkan bahwa entitas terorisme adalah suatu asosiasi, organisasi, grup, kelompok, sel atau kelompok lain secara de jure atau de facto, dengan cara apapun, baik di dalam maupun di luar negeri yang berusaha untuk menyakiti individu, menyebarkan teror atau membahayakan kehidupan, kebebasan, hak dan keamanan masyarakat. Aturan hukum itu juga berisi tentang larangan untuk merusak lingkungan, alam, benda antik, sarana komunikasi, transportasi darat, laut dan udara, juga larangan untuk merusak hak milik publik atau pribadi, bangunan atau properti. Juga berisi larangan untuk mengganggu otoritas publik, otoritas hukum atau pemerintahan, tempat beribadah, rumah sakit, institusi pendidikan atau fasilitas publik sebagaimana dilansir al-monitor.com pada (02/03/2015).
Aturan ini diterapkan kepada entitas dan masyarakat dimanapun mereka berada atau yang tunduk pada aturan hukum ini, bahkan jika mereka tidak berniat menyerang Republik Mesir sekalipun.
Menurut Malek Adly, seorang pengacara di Center for Economic and Social Right, Undang Undang Anti Terorisme memberikan definisi yang meluas tentang entitas terorisme. Menurut Adly aturan hukum harus presisi, maka berdasarkan definisi ini semua pihak, persatuan pelajar, gerakan dan organisasi HAM dapat juga dikategorikan sebagai entitas terorisme, terutama pada kata “de jure atau de facto” yang itu berarti tidak ada perlindungan hukum secara institusional jika mengacu terhadap definisi ini.
Menurut Adly, aturan hukum tentang anti terorisme sebagai aturan hukum alternatif saat dalam keadaan bahaya, dimana hal itu sudah diadopsi oleh Presiden terdahulu yaitu Hosni Mubarak selama dia memerintah, yang bertujuan untuk mengintimidasi komunitas dan memperketat pengawasan keamanan terhadap masyarakat.
Adly juga mengatakan keheranannya terhadap makna “bahkan jika mereka tidak berniat menyerang Republik Mesir” dan bertanya “apakah aturan ini akan diterapkan kepada pihak yang mencoba menyerang keamanan negara lain selain Mesir? Apakah orang yang merencanakan untuk menyerang Qatar, yang termasuk musuh Mesir dapat dikategorikan sebagai teroris?
Menurut aturan hukum, pelaku terorisme adalah seseorang yang berkomitmen, menghasut, mengancam atau merencanakan dari dalam atau luar negeri untuk suatu serangan terorisme tanpa terkecuali, bahkan jika dilakukan secara individual. Aturan hukum juga melarang untuk memberikan kontribusi terhadap suatu kejahatan atau bergabung dalam proyek kejahatan. Teroris adalah setiap orang yang memerintah, memimpin, menjalankan, membentuk, mendirikan, mendanai, menjadi anggota atau berperan serta dalam suatu entitas terorisme sebagaimana diatur pada pasal 1 pada aturan hukum itu atau berkontribusi secara penuh dengan pengetahuan dan ilmu yang dimilikinya.
“Aturan hukum yang sebelumnya tidak mengatakan apa yang disebut sebagai kejahatan terorisme, maka dari itu, setiap perbuatan yang dilakukan oleh individu dimana otoritas tidak sepaham maka dapat dikategorikan sebagai terorisme bahkan jika perbuatan itu bukan merupakan perbuatan terorisme” menurut Nejad El Borai, pengacara HAM dan presiden dari United Grup kepada Al-Monitor.
Menurut Borai, Sisi sudah berlebihan menggunakan kekuasaannya dalam legislasi dan mengambil keuntungan dari tidak berfungsinya parlemen. Dia juga menambahkan bahwa otoritas di Mesir masih menggunakan intimidasi sebagai cara terbaik untuk mengatur masyarakat.
Aturan hukum yang terbaru ternyata gagal memperoleh dukungan dari organisasi HAM negara. Nasser Amin, anggota dari National Council of Human Rights (seperti Komnas HAM di Indonesia), mengatakan bahwa jika tujuannya adalah untuk menghalangi persaudaraan muslim dan kelompok jihad bersenjata ternyata aturan hukum ini tidak efektif, bahkan dalam penentuan pendapat publik tentang siapa teroris dan apa itu entitas teroris.
Berkaitan dengan pasal 2, menurut Amin terutama pada bagian, memuat daftar yang menurut pendapat publik,” termasuk entitas teroris dimana departemen yang berkompeten dapat menyertakannya ke dalam daftar organisasi teroris”, bahwa frase yang fleksibel itu dapat disalahgunakan oleh otoritas yang berkuasa.
Untuk bagian ini, Amro Ali, koordinator dari pergerakan April 6, mengatakan bahwa aturan hukum itu cenderung lebih kepada kriminalisasi terhadap gerakan perlawanan daripada tentang terorisme, hal ini dikarenakan menggunakan kata “dengan cara apapun”. Menurut Ali, gerakan April 6 juga dapat ditargetkan seperti yang dikualifikasikan oleh undang undang sebagai gerakan perlawanan, dan menurut hukum akan menuju kepada pembekuan kehidupan politik di Mesir yang dengan segera akan mengurangi dukungan terhadap rezim yang berkuasa.
Menurut Ali, sebaiknya pihak kepresidenan memperhatikan kemarahan masyarakat Mesir sebagai akibat penurunan situasi ekonomi dan politik, daripada menerbitkan lebih banyak aturan hukum yang bertujuan untuk membatasi setiap gerakan yang berpotensi untuk melawan kebijakan pemerintah.