[Amerika Serikat] Praktik Hukum Ibarat Membuat Karya Seni
Setelah melahap teori teori hukum dan memahami isi peraturan hukum, beranjak menuju praktik hukum merupakan hal yang menyenangkan. Seperti iklan sebuah produk otomotif “practice make perfect”, praktik hukum penuh dengan lika liku dan berpeluh.
Praktik hukum, khususnya dalam ranah advokat menarik minat sebagian mahasiswa fakultas hukum untuk menekuni profesi tersebut setelah menyelesaikan studinya. Profesi advokat yang independen memberikan keleluasaan dalam menjalankan praktik hukum sesuai style masing masing advokat. Tentu saja, keleluasaan yang didukung juga dengan keluasan secara akademik dan intelektual sepatutnya juga dikemukakan dalam menjalankan profesi advokat sesuai dengan semboyan officium nobile.
Praktik hukum laiknya membuat suatu karya seni, sandingkanlah karya hukum ketika berpraktik dengan suatu karya seni, setidaknya akan ditemukan persamaan diantaranya. Penanganan perkara memerlukan pemikiran dan strategi tertentu bagi setiap advokat yang diberikan kuasa untuk menanganinya. Seperti sebuah karya seni, saat berpikir dan menuliskan ulasan, argumentasi, dan pendapat hukum setiap advokat berusaha untuk menampilkan keindahan dari sisi penulisan, berbahasa dan terkadang metafora. Demikian halnya saat argumentasi verbal di persidangan, pola dan struktur bahasa yang terucap dengan baik seperti sedang menjalankan pementasan suatu karya seni.
Penanganan perkara hukum memang memerlukan pemikiran yang mendalam, menyeluruh dan energi yang cukup, sehingga pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan kuasa yang diberikan oleh pemberi kuasa dilaksanakan dengan baik. Paul Lippe menuliskannya dalam abajournal, tentang apakah praktik hukum seperti membuat karya seni. Lippe yang merupakan CEO Legal on Ramp, sebuah perusahaaan berbasis di Silicon Valley, yang bekerjasama dengan Cisco Systems untuk meningkatkan kualitas layanan hukum dan efisiensi melalui kolaborasi, berpendapat bahwa di Amerika Serikat fakultas hukum yang menangani 100 perkara pro bono setiap tahunnya layak diapresiasi, namun sebaliknya juga menangani 10.000 perkara yang terkategori “komoditas”.
Komoditas adalah kata yang digunakan sebagai lelucon diantara para advokat untuk mendeskripsikan sesuatu yang “lain”. “Tapi saya tidak menemukan arti yang sesungguhnya tentang hal itu, emas adalah komoditas, berlian juga komoditas, komoditas mempunyai sifat dan harga yang dapat diprediksi, tetapi juga mempunyai harga yang sangat tinggi” kata Lippe.
Kata yang sebaliknya dari komoditas yang juga biasanya disebut oleh para advokat adalah “rocket science”, Lippe juga tidak menemukan padanan yang tepat untuk kata tersebut. Mungkin terkait dengan banyak analisa hukum yang sangat kompleks dan ilmiah sehingga bisa dipadankan dengan rocket science, namun itu juga mungkin kurang tepat untuk padanan istilah rocket science, karena dalam rocket science dipergunakan cara yang sangat spesifik tentang apakah pekerjaan tersebut kemudian berjalan dengan baik.
Lebih lanjut Lippe mengatakan bahwa hukum sebagai sebuah sistem dan dengan makin besar serta makin kompleksnya suatu sistem, maka gaya pendekatan dengan mengurangi unsur “seni” akan mendapat hasil yang bagus. Karena terkadang hal yang unik mungkin akan dipandang sebagai suatu hal yang negatif daripada hal yang positif.
Banyak pekerjaan bidang hukum yang rumit “mempunyai pola yang sama” maka itu usahakan menerapkan contoh hal yang sama kepada masalah yang dihadapi untuk memperoleh hasil yang diinginkan. Karena hal ini bukan masalah seni atau komoditas, hanya metode yang tepat untuk menangani permasalahan yang dihadapi.
Apakah praktik hukum di Indonesia, khususnya advokat terkategori juga laiknya melakukan kerja seni dan menghasilkan karya seni? Karena nampaknya setiap advokat mempunyai metode dan proses kerja dengan style masing masing untuk memproduksi karya bidang hukum. Maka jika kemudian disebut ada istilah “seniman hukum”, berpulang bagaimana setiap advokat menyikapinya.