[Amerika Serikat] Separuh Institusi Bisnis Asal Amerika Serikat “Very Concerned” Tentang Pemberlakuan Security Law di Hongkong
Lebih dari 80 % institusi bisnis asal Amerika Serikat yang disurvei menaruh perhatian terhadap rencana Tiongkok untuk memberlakukan security law di Hongkong. Berdasarkan survei 180 anggota AmCham, 53.5 % menyatakan “very concerned” sedangkan 30.0 % menyatakan “moderately concerned”. Survei itu dilakukan oleh AmCham dimana mereka menyebutnya dengan “a temperature test of members sentiment”, sebagaimana dikabarkan cnbc.com.
Responden menyatakannya karena bisa muncul ancaman terhadap keseluruhan aspek bisnis di Hongkong, dimana hal itu bisa menimbulkan konflik potensial menyangkut kebebasan berpendapat dan hal kebebasan sipil mendasar lainnya.
Seperti diketahui, bahwa Hongkong dikembalikan ke Tiongkok pada 1997 dimana diatur mengenai “one country, two systems”. Dimana hal ini tentu saja berbeda dengan ketentuan ketentuan yang diberlakukan di Tiongkok. Hongkong bebas dalam mengatur pemerintahannya, pemilihan umum dan juga keterpisahan soal pengaturan kerangka kerja hukum dan ekonomi dari Tiongkok.
Maka security law yang akan diberlakukan itu dimaksudkan untuk melarang pemisahan, tindakan subversi ke negara, aktifitas terorisme dan campur tangan internasional. Namun beberapa laporan menyebutkan hal ini dapat menyebabkan Tiongkok untuk menjadikan Hongkong sebagai markas agen rahasia mereka. Kritik juga dilayangkan karena hal hal itu dapat menyebabkan penolakan dan protes.
Sementara itu, pihak berwenang di Beijing dan Hongkong menyebutkan kalau regulasi itu tidak akan menimbulkan dampak terhadap status otonomi pemerintahan di Hongkong. Akan tetapi 60 % institusi bisnis asal Amerika Serikat yang disurvei oleh AmCham menyebutkan bahwa pemberlakukan security law akan mengancam operasional bisnis mereka.
Beberapa pihak juga menyebutkan kalau pemberlakuan security law akan mengakibatkan berkurangnya investasi asing di Hongkong. Meskipun demikian, sebanyak 70.6% responden menyatakan mereka tidak akan memindahkan modal, aset dan operasional bisnis keluar dari Hongkong. Sedangkan sebanyak 62.2 % menyatakan pikir pikir untuk meninggalkan Hongkong.