[Asia] Legaltech Mengalami Perlambatan Pertumbuhan
Pada November 2019, sebuah firma hukum di Mongolia meluncurkan online platform untuk mengautomasi persoalan hukum ketenagakerjaan di tingkatan unit bisnis mikro kecil dan menengah. Ini adalah solusi untuk mengatasi kurangnya ketersediaan pengacara yang diperlukan. Mongolia adalah salah satu negara di kawasan Asia yang mencoba untuk melakukan akses terhadap teknologi berkaitan dengan legaltech.
Pada tahun lalu juga, pemerintahan lokal di Tiongkok yaitu di provinsi Qinghai mengembangkan teknologi untuk menjawab permasalahan hukum warga lokal. Sedangkan di Hongkong, ada mahasiswa fakultas hukum yang mengembangkan teknologi berbasis machine learning untuk membantu warga lokal menemukan legislasi yang relevan dengan permasalahan hukum yang mereka hadapi.
Dikabarkan oleh law.com, di tingkatan komersial, firma hukum lokal juga berusaha mengembangkan mesin pencarian permasalahan hukum dan document generators untuk bisa digunakan secara umum. Di Tiongkok firma hukum berspesialisasi litigasi, Tiantong law firm mengembangkan itslaw.com. Ini adalah suatu bentuk data driven platform yang memudahkan praktisi hukum dan in house lawyer dalam mengakses persoalan litigasi dalam pencarian lebih dari 59 juta putusan pengadilan dan 1.5 juta regulasi. Han Kun Law Offices, yang dikenal dalam praktik private equity dan venture capital meluncurkan platform Jianfabang untuk membantu startup dalam persoalan dokumen hukumnya dengan biaya murah.
Di Korea Selatan, Rhim Young yik mengembangkan pencarian sistem hukum berbasis Artificial Intelligence yang bernama U-Lex. Juga ada firma hukum DR & AJU yang menjadi firma hukum pertama yang mengadopsi sistem itu. Di Jepang, firma hukum Nagashima Ohno & Tsunematsu menggunakan teknologi untuk melakukan review kontrak dan due diligence.
Meskipun demikian di kebanyakan pasar di Asia, kecuali Singapura, kurangnya ekosistem untuk scale up mengenai sektor legaltech ini. Menurut data Bloomberg, perolehan pendanaan secara global oleh legaltech startup pada quarter ke tiga 2019 mencapai USD 700 juta. Umumnya itu diperoleh oleh startup yang berbasis di Amerika Serikat, Kanada dan Inggris. Di Asia, permasalahan yang muncul adalah kecilnya pangsa pasar. Sebagai contoh, di Tiongkok, yang merupakan pangsa pasar terbesar di Asia mempunyai pasar setidaknya USD 70 miliar. Masalah lainnya yang muncul adalah mengenai soal regulasi lokal.
Pada acara Singapore Law Academy 2019, dinyatakan soal inovasi hukum di Asia Pasifik, dimana dalam laporannya pihak Jepang berpendapat meskipun terdapat beberapa permasalahan serius di bidang inovasi hukum yang telah berjalan, namun hal itu tidak dikoordinasikan dengan baik. Maka jika di Jepang ingin mengalami pertumbuhan dalam bidang legaltech, pihak pemerintah, organisasi pengacara, pengacara, pengajar hukum dan penyedia layanan legaltech mestinya bersatu dan berkolaborasi.
Hal yang sama juga dinyatakan oleh pihak Korea Selatan, dimana terdapat pembatasan regulasi sebagai alasan tidak berkembangnya legaltech dengan baik. Secara spesifik, di Korea Selatan disebutkan, bahwa hanya pengacara Korea Selatan yang mempunyai lisensi yang bisa memberikan nasihat hukum. Maka kemudian, jika permasalahan itu diselesaikan oleh teknologi berbasis machine learning yang mempunyai database hukum lalu memberikan nasihat kepada pengguna, maka pertanyaannya apakah layanan tersebut kemudian dapat dianggap melanggar hukum.
Hal yang menarik dapat diambil dari pengalaman Singapura membangun ekosistemnya. Sampai sejauh ini Singapura telah melakukan banyak langkah dalam pengembangan legaltech dimana dimulai oleh pendekatan yang dilakukan pemerintahnya. Usaha mereka dimulai pada 2017 lalu dimana Singapore Law Academy mengeluarkan rencana lima tahun untuk membantu pengembangan kapabilitas ekosistem legaltech. Pada 2019, juga telah diluncurkan Future Law Innovation Programme untuk mengorganisasi firma hukum dan startup dalam mempromosikan penggunaan teknologi di bidang hukum.
Di Singapura, terdapat firma hukum yang telah berhasil dibujuk untuk mengadopsi teknologi diantaranya adalah firma hukum internasional seperti Linklaters dan Clifford Chance, juga firma hukum lokal Singapura seperti Rajah & Tann dan Wong Partnership.