Jika Cinta Adalah Lex Imperfecta
Suatu ketika Socrates ditanya alasan mengapa manusia mencintai, dan dijawabnya dengan “cinta adalah “nature” dari surga, ia ingin selalu melampaui mortalitas ketubuhannya, ia ingin mencapai kesempurnaan itu”.
Berbicara urusan cinta dan kasih sayang memang tiada habisnya, kodrat manusia memang untuk mencintai,dicintai, menyayangi dan disayangi. Banyak untaian kata cinta terujar dari para pujangga, tak sedikit pula roman picisan hadir dan menyapa untuk menuntaskan dahaga kisah asmara. Sebutlah lakon simbol cinta kasih, niscaya berderet deret sambung menyambung pada setiap zaman.
Kisah cinta yang hadir pada setiap zaman memberikan nuansa yang berbeda beda, demikian pula pengaruh geografis dan kultur masyarakatnya. Penggemar kisah cinta pun beragam usia, mulai dari Anak Baru Gede hingga lanjut usia. Masing masing mempunyai ketertarikan sesuai perspektif yang diyakininya adalah sahih.
Siapa tidak kenal Romeo dan Juliet dan jangan lupakan pula Sam Pek dan Eng Tay, kisah cinta klasik ini rasanya sudah umum diketahui oleh pembaca sastra. Banyak pembaca dan kritikus sastra gemar mengulasnya dengan bermacam perspektif. Sedangkan kisah romantisme manis macam Aladin dan Jasmine atau Cinderela dan Sang Pangeran juga selalu digemari oleh anak anak. Bahkan hingga sekarang yang sudah menjadi orang tua pun masih terekam kisah cinta tersebut dan mungkin juga menuturkan kisahnya kepada anaknya. Atau mungkin ada yang menyukai kisah cinta antara Cleopatra dan Mark Antony atau bahkan kisah cinta yang ditengarai lekat dengan sejarah nusantara adalah kisah cintanya Ken Arok dan Ken Dedes.
Namun semua kepingan kisah itu akan berbenturan dengan perspektif Erich Fromm dalam memandang cinta. Dia menolak segala bentuk romantisme dan mistifikasi tentang cinta. Yang dia tekankan adalah bahwa cinta itu tentang pengalaman, kompatibilitas dan relasi kepercayaan.
Zaman telah menghasilkan peradaban manusia dengan bermacam karyanya. Zaman juga selalu menghasilkan komoditas yang renyah untuk dikonsumsi manusia yang hidup pada lintasannya. Peradaban manusia di berbagai belahan bumi tumbuh, maju dan kemudian mundur bahkan musnah silih berganti. Setiap peradaban biasanya meninggalkan jejak monumental sebagai warisan dan bahan ingatan bahwa pernah ada suatu masyarakat yang hidup pada suatu zaman.
Manusia gemar dengan urusan perayaan, karena ini adalah wujud ungkapan kebahagiaan. Perayaan selalu dikaitkan dengan seremoni atau ritual tertentu bagi yang meyakininya. Sedangkan pihak lain yang berpegang kepada ajaran bahwa perayaan hari tertentu dengan atribut yang tidak sesuai dengan ajaran agama cenderung menolak untuk merayakannya. Tujuan perayaan secara universal adalah berbagi kebahagiaan dan kebersamaan, rasanya dalam setiap ajaran agama terdapat kegiatan, tindakan, atau perbuatan untuk merayakan hari tertentu yang dalam agamanya dianggap sakral. Memang perbedaannya adalah tata nilai dan doktrin dalam wujud merayakannya.
Sebagai produk peradaban dan mungkin juga anak kebudayaan, hari valentine yang ditahbiskan untuk dirayakan pada 14 Februari selalu mendapat antusiasme dari manusia sebagai penikmat budaya. Hari kasih sayang, begitu orang orang lazim menyebutnya. Secara simbolik bunga, coklat dan warna merah jambu menyertai ritual perayaannya.
Pada zaman modern ini modifikasi hari untuk perayaan tentang sesuatu, telah menjadi suatu komoditas yang dapat diukur dengan nilai kebendaan. Tentu saja komoditas adalah suatu yang dapat diperdagangkan, setidaknya begitu menurut teori kapitalisme. Barang dan jasa dapat ditebus dengan sejumlah nilai uang untuk mendapatkan kenikmatan tertentu. Berbeda halnya dengan bagaimana sosialisme mengukur atau mendayagunakan komoditas, karena sosialisme lebih berkiblat kepada fungsi dan fungsi bukanlah komoditas. Fungsi adalah alat atau sarana untuk mencapai tujuan, maka barang dan jasa dianggap sebagai pendukung terhadap tujuan.
Hari Valentine bagi para pemujanya seolah surga sehari untuk para cupid berkata dan berlaku mesra. Banyak kreasi tentang kata cinta dan kasih sayang. Sebagai suar dan kiblat dari budaya ini adalah belahan bumi barat. Rasanya di belahan bumi barat, khususnya masyarakat benua Eropa atau benua Amerika lebih permisif dalam urusan cinta. Maka sudah lazim jika rangkaian perayaan hari valentine diikuti oleh banyak pasangan.
Komunitas hukum pun tidak mau ketinggalan kereta untuk urusan percintaan. Beragam bahasa cinta, sayang dan kekaguman diungkapkan dengan menyelipkannya pada istilah hukum.
Sudah barang tentu ini adalah reproduksi nilai sosial dalam masyarakat modern. Urusan apakah reproduksi ini akan menjadi komoditas yang menarik untuk memperoleh laba, bergantung kepada tujuan produsen dan minat konsumen. Karena mungkin dalam urusan romantisme tidak semua produksi dan reproduksi terhadap asmara dan cinta bertukar tempat dengan uang.
Cinta adalah suatu hal yang sulit didefinisikan, hanya lubuk hati yang dapat merasanya. Cinta pada dasarnya adalah tanpa syarat, namun jika sudah bersentuhan dan bahkan berbenturan dengan atribut dan nilai sosial maka produk cinta bisa bermacam hasilnya. Sebutlah perjodohan, poligami, kawin paksa, kawin lari, kawin kontrak hingga kawin masal.
Jika urusan cinta adalah lex imperfecta, maka cinta tidak akan memberi sanksi kepada pelakunya. Mungkin sanksi yang mendera adalah gundah gulana karena putus cinta. Lex imperfecta dalam dunia hukum biasa disebut sebagai kaedah hukum yang tanpa disertai sanksi.
Memang cinta bukanlah kaedah hukum, namun penafsiran terhadap cinta dapat diterakan dalam aturan hukum. Maka jika sudah diserap dalam aturan hukum, cinta memiliki nilai tawar yang memaksa dan mengikat, karena pergeseran dari norma sosial ke norma hukum. Contohnya jika cinta ditafsirkan ke dalam hukum perkawinan.
Mungkin terdapat kisah dimana pasangan melakukan perkawinan tanpa dasar cinta, sebutlah kisah Siti Nurbaya. Jika kisah cinta dan urusan perkawinannya ditarik kedalam rumusan Undang Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, maka tidak ditemukan kata “cinta” sebagai dasar syarat sahnya perkawinan. Rumusan undang undang tersebut pada Pasal 1 menyatakan “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Apakah ikatan lahir batin ini ditafsirkan sebagai cinta? sedangkan terdapat pula pasangan yang menikah tanpa dasar cinta, adakah sanksi hukumnya untuk hal ini? bahkan juga jika melakukan perceraian dengan dasar sudah tidak cinta. Maka dimanakah letak kesalahan dan kebenaran dari cinta? ataukah upaya manipulatif manusia dan modifikasi terhadap atribut membuat cinta sebagai obyek yang diburu, disimpan, dielus, dimanja bahkan dicampakkan.
Kecintaan Profesi
Masyarakat umumnya menggangap sekolah hukum itu mudah, dan Sarjana Hukum adalah produk yang mudah ditemukan bahkan berceceran di Republik ini. Seperti barang produksi masal yang dapat dijual secara eceran dan dianggap remeh. Memang memprihatinkan saat ini jika melihat kondisi pendidikan hukum, sistem hukum, aturan hukum, penegakan hukum dan praktik hukum. Miris rasanya melihat kondisi seperti itu.
Memang tidak mudah untuk menjadi Sarjana Hukum yang berkualitas dan menguasai seluruh ilmu hukum. Hal itu karena cabang keilmuan yang terbagi menjadi beberapa pokok keilmuan. Juga bukan urusan mudah dan mungkin menjadi perdebatan hingga berbuih jika berbicara tentang pendidikan, sistem serta tujuan pendidikan hukum di Indonesia, terlebih lagi jika membahas tentang motivasi dan cita cita para mahasiswa Fakultas Hukum. Namun percayalah jika pembenahan pendidikan dan praktik hukum di Indonesia dilakukan secara masif, komphrehensif dan progresif maka di masa mendatang akan terbangun sistem politik bernegara dan sistem hukum yang baik.
“Sekolah di Fakultas Hukum tidak semudah yang dibayangkan. Urusan hukum bukan hanya tentang menghafal aturan hukum, tetapi lebih kepada pemahaman. Membangun logika berpikir yang sistematis juga diperlukan untuk dapat menghasilkan argumentasi yang terstruktur. Pemahaman tentang logisme dan silogisme juga penting bagi pembelajar hukum”.
Bagaimana menjadi Sarjana Hukum yang beridealisme di tengah praktik hukum yang realitanya terkadang tidak mengindahkan asas, kaedah dan bahkan hukum itu sendiri. Idealisme hanya menjadi bahan olok olokan dan obyek manipulatif. Idealisme terkadang diartikan dengan keluguan dan kepolosan di tengah pusaran kompromi dan manipulasi. Beridealisme berarti berkawan dengan sepi, karena ramai telah menjadi kompromi. Namun bisakah di keramaian dan tidak berkompromi ? Maka apakah para Sarjana Hukum sudah cukup mempunyai idealisme? Ataukah idealisme seperti apa yang diusung dan diperjuangkan ?
Tentu saja idealisme diperlukan dalam proses legislasi karena hal ini akan berpengaruh kepada proses legislasi yang baik pula, karena para legislatornya cakap, menguasai ilmu hukum dan berperilaku baik. Maka mungkin akan sulit ditemukan keaalpaan saat melakukan legal drafting. Seperti saat ini dalam beberapa hal terdapat kelemahan dan keaalpaan dalam menyusun produk Undang Undang.
Sebagai contohnya, Undang Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan Undang Undang No. 30 Tahun 2007 tentang Energi dalam konsideran tidak mencatumkan landasan filosofis yang pada pokoknya bahwa sumber daya alam adalah merupakan karunia, anugerah atau amanah dari Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu juga pemanfaatannya digunakan untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Sedangkan produk Undang Undang lainnya yang berkaitan dengan Sumber Daya Alam mencantumkan hal tersebut. Silakan bandingkan dengan Undang Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria, Undang Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Undang Undang No. 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Undang Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Undang Undang No. 30 Tahun 2007 tentang Energi.
Namun jika para pembelajar hukum sudah cinta dengan Fakultas Hukum, dunia hukum berserta atributnya, kegairahan itu akan memancar dan mewujud kepada pengabdiannya di ruang karya bidang hukum. Dosen, Hakim, Jaksa, Pengacara, Notaris, Konsultan, peneliti, penulis atau pekerjaan fungsi hukum lainnya menjadi ajang pergelaran profesi hukum. Mungkin saja cinta kepada profesi dan dunia hukum yang telah berurat nadi dan bersandar di sanubari para pelaku profesi hukum ini bagi sebagian pihak tertentu tidak dapat terukur dengan nilai kebendaan.
Relasi Lex Imperfecta
“I Will love you until the law asks me to stop”, Ini adalah suatu bentuk penjabaran dari lex imperfecta, atau biasa disebut kaidah hukum tanpa sanksi seperti yang diuraikan diatas. Hal ini merupakan contoh kasus jika saja hukum positif mengatur tentang cinta.
Karena tidak setiap kaedah hukum disertai dengan sanksi, sulit rasanya untuk menentukan sanksi terhadap pelanggaran cinta dalam konteks hukum. Namun jika cinta itu sudah melembaga ke dalam ikatan perkawinan tentulah berbeda penanganannya. Karena wujud lembaga perkawinan sudah diatur secara lex specialis ke dalam Undang Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974, sehingga menimbulkan hak dan kewajiban secara hukum.
Rumusan yang baku tentang lex imperfecta ini dapat ditemukan pada pasal 298 KUHPerdata yaitu tentang “Tiap-tiap anak anak dalam umur berapapun juga berwajib menaruh kehormatan dan keseganan terhadap bapak dan ibunya”.
Wujud cinta kasih sayang anak terhadap orang tua adalah hormat dan segan, maka jikalau anak tidak berlaku seperti yang tertulis pada pasal 298 KUHPerdata, tidak ada sanksi hukumnya. Kecuali jika anak sudah melakukan derivasi perbuatan tentang sikap tidak hormat dan segan dengan melakukan perbuatan pidana terhadap orang tuanya. Tentu saja konsekuensi dari perbuatannya adalah hukuman pidana dan mungkin juga akan menancap stigma anak durhaka seperti analogi kisah Malin Kundang.
Maka apakah lex imperfecta hanya sekedar asas yang tanpa manfaat, dibandingkan lex specialis yang jelas kedudukannya. Jawabannya menjadi relatif dilihat dari konteks sebab akibatnya. Karena lex imperfecta tidak memberikan daya paksa untuk ketaatannya, sedangkan lex specialis lebih jelas dalam memberikan petunjuk terhadap kaedah yang harus diikuti.
Bahkan sebenarnya lex imperfecta pun tidak murni tanpa sanksi hukum, karena menilik sifat asalnya norma hukum selalu memiliki sifat memaksa dan sanksi hukum, jika subyek hukum melakukan derivasi perbuatan hukum. Bentuk derivasi lex imperfecta akan mewujud kedalam asas legalitas dan terhadap asas ini hampir jarang dijumpai aturan hukum yang tanpa sanksi.
Perjanjian Cinta
Apakah anda sedang melakukan profesi bidang hukum, ataukah mempunyai pasangan yang melakoni profesi tersebut? Para pelaku profesi hukum tentu telah terbiasa dengan perikatan dan perjanjian. Maka jika dihadapakan dengan bentuk perikatan atau perjanjian tentang cinta atau hubungan berpasangan, akan banyak perbendaharaan kosa kata yang diungkapkan. Jika pasangan anda seorang pengacara atau notaris jangan jangan akan disodorkan bentuk perjanjian tentang jalinan suatu hubungan seperti yang tertera di atas. Tentu saja itu sekedar bumbu pelengkap urusan romantisme atau bahkan kelakar belaka. Bahkan muncul celetukan yang menarik, yaitu para pelaku profesi hukum adalah pasangan hidup ideal dan menantu idaman.
Namun jika memang serius untuk menjalin hubungan dan mewujudkannya dalam lembaga perkawinan, maka di zaman sekarang ini sudah bukan hal yang tabu jika pasangan hendak membuat perjanjian pra perkawinan sebagaimana diatur pada Pasal 29 Undang Undang No.1 Tahun 1974. Dalam hal ini konsep cinta, kasih dan sayang sudah mulai bergeser kepada upaya perlindungan hukum baik pribadi maupun bersama. Sebagian kalangan tertentu dalam masyarakat modern mulai memandang perjanjian pra perkawinan sebagai keniscayaan. Mungkin dalam relasi sosial dan kemandirian dalam berbuat secara hukum, mereka ingin hak dan kewajiban lebih jelas dan tidak ingin terjadi sengketa berlarut larut jika akhirnya menemui jalan perceraian. Namun itu semua berpulang kepada setiap pasangan apakah perlu membuat perjanjian pra perkawinan ataukah tidak.
Cinta, kasih dan sayang secara universal mewujud dengan bermacam rupa, melintas batas suku, agama, ras, benua, dan negara. Setiap masyarakat mempunyai tata nilai tersendiri dalam urusan percintaan terlepas dari atribut, modifikasi dan perlakuannya. Bahkan mungkin jika terhadap cinta, kasih dan sayang menjadi suatu komoditas perdagangan universal, maka hasrat, gelora dan rasa menjadi suatu yang tiada bisa dibeli. Maka jika anda merasakan cinta, kasih dan sayang berbahagialah sebagai manusia. Yakinkan diri terhadap cinta yang membawa untuk meniti kehidupan, dan bukan sekedar cinta yang membuai belaka.
Sebaiknya jangan pula bersandar pada cinta mitos, karena manusia akan sulit untuk bersandar pada mitos. Sebagaimana Plato menjelaskan mitos ini dalam Symposium. Manusia ketika zaman awal penciptaannya sesungguhnya adalah sepasang manusia yang menjadi satu. Terpisahnya dengan pasangan jiwa itulah yang menyebabkan kita hidup dalam kegelisahan. Atas dasar mitos ini manusia selalu meyakini bahwa untuk melengkapi kehidupannya, ia harus mencari pasangan yang sudah ditakdirkan bersamanya. Ini adalah misi mencintai yang sulit.
Hawa tercipta untuk menemani Adam, begitu juga anak hadir untuk dicintai orang tuanya, kakak menyayangi adiknya dan manusia saling mengasihi dengan sesamanya. Cinta, kasih dan sayang itu sederhana, segala atribut dan modifikasinya untuk membuatnya menjadi komoditas terkadang membuat urusannya menjadi rumit. Jika manusia merasakan perasaan tertentu seperti kagum, terpesona, simpati, tertarik, berhasrat, kasih dan sayang terhadap sesama manusia dan juga khususnya terhadap lawan jenisnya, maka “could it be love” kata Raisa.