[Perancis] Jerat Jerat Hukum Bagi Pelaku Prostitusi
Perancis sedang berupaya menegakkan aturan hukum terbarunya berkaitan dengan prostitusi. Sebagaimana dikutip dari mirror.co.uk, di Perancis perempuan yang berpenampilan seronok dan memakai high heels dapat dituduh dan ditahan karena menyerupai perbuatan prostitusi di tempat publik. Aturan hukum di Perancis menyatakan bahwa penawaran untuk berhubungan sex meskipun secara pasif termasuk perbuatan ilegal.
Aturan hukum ini terkait perubahan situasi di distrik yang dikenal rawan seperti Pigalle dan Rue St Denis di Paris. Selanjutnya akan diupayakan supaya pelaku prostitusi untuk mengenakan busana casual seperti jeans atau semacamnya. Pengaturan tentang hal itu akan diterakan dalam Artikel 225 hukum pidana Perancis dimana menyatakan larangan tentang kegiatan menunjukkan penawaran kepada orang lain untuk membayar dalam berhubungan sex dengan cara apapun termasuk secara pasif.
Hal ini memperoleh tanggapan dari pihak serikat pekerja sex Perancis yang menyatakan bahwa aturan hukum itu adalah langkah mundur. Chloe Navarro sebagai juru bicaranya menyatakan bahwa aturan itu mengkriminalisasi perempuan tentang bagaimana cara mereka berpakaian dan juga mengganggu pekerja seks dalam melakukan pekerjaannya.
Sementara tanggapan berbeda datang dari grup anti prostitusi du Nid, yang meyakini bahwa aturan hukum itu masih kurang dan seharusnya para konsumen prostitusi juga ditahan karena membeli jasa sex. Namun para pembentuk hukum di Perancis nampaknya enggan untuk menghukum orang yang membeli jasa sex. Menurut aturan hukum yang berlaku sekarang, di Perancis adalah suatu hal yang legal untuk memberikan uang atas layanan sex selama hal itu tidak diiklankan. Namun menawarkan sex dan segala bentuk germo adalah perbuatan kriminal.
Sekitar dua tahun yang lalu, kelompok sayap kanan Chantal Brunel meluncurkan kampanyenya untuk melegalisasi kegiatan germo atau tempat pelacuran di Perancis. Menurutnya, perempuan yang menyediakan jasa sex seharusnya mendapatkan izin khusus. Hal ini juga akan memberikan para pelaku prostitusi penghasilan yang legal dan dapat dipotong pajak. Menurut survey, ditemukan sekitar 20.000 pekerja sex di Perancis dan 6 dari 10 laki laki atau perempuan yang disurvey menginginkan adanya tempat pelacuran yang dilegalkan. Di masa lalu Perancis pernah memiliki sekitar 1400 tempat pelacuran yang dilegalkan hingga akhirnya semuanya dilarang dan ditutup pada 1946.
Sedangkan di Inggris kegiatan prostitusi dan membayar untuk layanan sex adalah hal yang legal jika seorang perempuan sudah lebih dari 18 tahun dan tidak dalam keadaan dipaksa. Namun aktivitas menawarkan, menjajakan diri di tepi jalan, tempat pelacuran dan penggermoan adalah hal yang dilarang oleh hukum. Sedangkan di negara negara Eropa lainnya seperti Jerman, Belanda dan Swiss tempat pelacuran adalah hal yang dilegalkan, sementara di Spanyol masih memberikan toleransi untuk hal itu. Hanya Swedia dan Norwegia yang menyatakan bahwa membayar untuk jasa layanan sex adalah hal yang ilegal.
Pekerja Sex Adalah Korban
Perkembangan terkini memunculkan teori yang menyebutkan bahwa pekerja sex sebagai korban daripada sebagai pelaku kriminal. Teori dan regulasi baru yang mentargetkan perdagangan pekerja sex sebagai korban yang perlu diselamatkan dari situasi yang berbahaya. Maka pihak yang berwenang untuk melakukan penyelamatan adalah pihak Kepolisian. Teori ini berkembang di Amerika Serikat sebagaimana dilansir dari govexec.com
Seperti juga di Eropa, Amerika Serikat juga melarang adanya praktik prostitusi di hampir semua negara bagiannya kecuali Nevada. Pihak yang memberikan perhatian terhadap hal ini yaitu Tara Burns dalam laporannya yang berjudul People in Alaska’s Sex Trade : Their Lived Experience and Policy Recommendations. Burns memperoleh predikat master dalam bidang social justice di University of Alaska, Fairbanks dimana dia melakukan survey terhadap 40 pekerja sex dan melakukan interview terhadap 8 orang diantaranya.
Menurut Burns meskipun sudah membentuk hukum baru, namun aturan di internal kepolisian yang belum berubah banyak. Selain itu juga definisi tentang “trafficking” di Alaska yang masih luas dan tidak jelas. Aturan hukum federal di Amerika Serikat fokus pada penipuan, paksaan dengan kekerasaan dan upaya eksploitasi. Sedangkan aturan hukum Alaska mendefinisikannya secara lebih luas termasuk seseorang yang bekerja di dalamnya atau bekerjasama. Hanya ada sedikit tuntutan pidana terkait trafficking sejak aturan hukumnya diterapkan dan tidak ada satupun yang terlibat dalam upaya paksaan dengan kekerasan. Malahan aturan hukum itu dipergunakan untuk menuntut orang yang menjual jasa layanan sex (yang disebut sebagai menjual dirinya sendiri) atau menuntut orang yang memiliki tempat prostitusi. “Tidak ada satupun dokumen yang kuperiksa sejak aturan hukum itu ditetapkan yang dipergunakan untuk kepentingan sebagai korban” kata Burns.
Di New York City juga tengah melakukan eksperimen dengan pengadilan trafficking, dimana seperti halnya aturan hukum tentang trafficking di Alaska yang memperlakukan perempuan pekerja sex sebagai korban daripada sebagai pelaku kriminal. Menurut Audacia Ray, direktur dari RedUp yang merupakan organisasi yang mengadvokasi para pekerja sex di New York, mengatakan bahwa di lapangan hal itu hanya sedikit memberikan efek.
Kanada juga telah melakukan upaya yang tegas terhadap model trafficking, dengan mengajukan RUU C-36 yang membidik konsumen dan para trafficker daripada para pekerja sex. Menurut Jenn Clemen, meskipun sudah ada perubahan aturan hukum namun dalam banyak kasus perempuan pekerja sex masih dikriminalisasi. Di Kanada adalah hal yang ilegal untuk menjajakan layanan sex di jalanan. Terutama jika menjajakannya di dekat tempat bermain, tempat perawatan dan sekolah, larangan itu juga termasuk di sekitar tempat tempat penting di seluruh kota seperti di Montreal.