Perang Melawan Korupsi, Korea Selatan Mengamendemen Undang Undang Anti Korupsi
Korupsi merupakan extraordinary crime (kejahatan luar biasa) maka dari itu memerlukan penanganan yang luar biasa pula. Banyak negara bangsa masih berusaha menyempurnakan sistem serta aturan hukum tentang pemberantasan korupsi. Kejahatan yang sistematik ini niscaya menggerogoti sendi sendi hukum, politik bernegara dan perekonomian jika tidak dilakukan pencegahan dan pemberantasannya secara masif.
Negara negara di kawasan Asia yang masih dalam periode menuju kematangan demokrasi, politik dan bernegara serta kemajuan ekonomi, banyak yang sudah mendeklarasikan perang atas terkaman kejahatan korupsi. Indonesia seperti yang diberitakan media massa akhir akhir ini juga menghadapi ancaman serius terhadap pelemahan lembaga penegak hukum dan upaya pemberantasan korupsi. Namun perang pemberantasan korupsi harus terus dilakukan, mengingat kejahatan korupsi berpotensi menghancurkan hingga mematikan sebuah bangsa.
“…karena dia yang memeluk kematian dengan pedang kebenaran di tangannya akan mengabadi bersama keabadian kebenaran, karena kehidupan lebih lemah daripada kematian dan kematian lebih lemah daripada kebenaran”.
(Kahlil Gibran – Kematian Sebuah Bangsa)
Dalam lansiran koreaherald.com pada (04/03/2015), Korea Selatan juga telah menyelesaikan amendemen undang undang mengenai pemberantasan korupsi. Hal ini karena tekanan dari masyarakat untuk mengamendemen aturan hukum yang berlaku dimana oleh mereka sering disebut sebagai hukum Kim Young-ran. Aturan hukum ini mengacu kepada sosok Kim Young-ran sebagai ketua Komisi Anti Korupsi dan Hak Asasi Manusia. Aturan hukum ini sudah diundangkan sejak Juni 2011, yang juga mengatur tentang korupsi yang dilakukan sektor swasta.
Aturan hukum anti korupsi di Korea Selatan menyebutkan pejabat publik, jurnalis dan pengajar di institusi pendidikan swasta akan dipidanakan maksimal selama tiga tahun penjara atau denda sebanyak lima kali lipat dari nilai yang diterima jika mereka menerima uang lebih dari satu juta won atau setara dengan sebelas juta tiga ratus lima puluh ribu rupiah, dimana hal ini berkaitan dengan pekerjaan yang mereka lakukan.Sedangkan untuk hadiah yang bernilai satu juta won atau kurang dari itu, akan diberlakukan denda senilai lima kali lipat dari nilai hadiah yang diterima jika berkaitan dengan pekerjaan yang dilakukan.
Namun menurut beberapa pakar hukum di Korea Selatan, aturan hukum korupsi yang mencakup sektor swasta dikhawatirkan berpotensi inkonstitusional, sebagaimana dilansir oleh wsj.com pada (03/03/2015).
Amendemen aturan hukum juga dimaksudkan untuk memperketat aturan tentang tidak dapat dihukumnya seorang pejabat publik yang menerima hadiah atau layanan jika tidak ada bukti tentang imbal balik perbuatan yang dilakukannya.
Pihak partai Saenuri dan oposisinya menyatakan akan meninjau ulang detail aturan hukum anti korupsi tersebut. “Kami akan mendengarkan semua opini tentang celah hukum atau efeknya dalam jangka waktu satu hingga satu setengah tahun dalam masa persiapan, maka jika diperlukan tambahan dalam legislasinya, tentu saja akan kami lakukan” kata Yoo Seong-min seorang pimpinan dari partai Saenuri.
Partai yang berkuasa ini juga menaruh perhatian terhadap adanya “investigasi yang ditarget” oleh jaksa dan polisi dan juga aturan hukum yang berlebihan. Seperti yang dikemukakan oleh Kang Gi-jung, Kepala dari NPAD dalam wawancaranya dengan Yonhap, bahwa harus dilakukan secara pararel untuk membangun jaminan secara institusional untuk melawan penyalahgunaan kekuasaan terkait reformasi penuntutan.
Dalam lansiran wjs.com, para ahli berpendapat korupsi di sektor publik merupakan permasalahan utama di Korea Selatan, suatu negara dimana aspek kemurahan hati dengan memberikan hadiah masih menjadi suatu hal yang berperan dalam hubungan pemerintahan dan bisnis. Menurut Lim Ji-Bong, seorang profesor hukum dari Sogang University, upaya penyuapan politisi dan aparat yang terkait dalam sistem peradilan sudah merajalela.
Lansiran wsj.com juga menyebutkan terdapat beberapa pejabat publik dalam beberapa tahun terakhir ini yang menerima hadiah termasuk hakim yang sedang menangani perkara, yang menerima ratusan ribu Dollar, juga terdapat pula jaksa yang didakwa karena menerima hadiah mobil sedan. Selain itu, mantan Presiden Korea Selatan, Chun Doo-hwan dan Roh Tae-woo pada 1996 juga dinyatakan bersalah karena perkara korupsi.
Menurut jajak pendapat yang dilakukan Realmeter menunjukkan bahwa 64 persen responden menyetujui isi amendemen. Jajak pendapat ini dilakukan kepada 500 responden usia dewasa dengan tingkat kesalahan kurang lebih 4.4 persen.
Kritik juga banyak disampaikan terkait seorang pejabat publik yang harus melaporkan jika ada anggota keluarga yang diduga menerima suap, hal ini dikhawatirkan akan mengganggu jaminan kebebasan dan menghancurkan hubungan kekeluargaan. Menurut partai opisisi seharusnya aturan hukum hanya diterapkan kepada pejabat publik dan pasangannya dan bukan kepada anggota keluarga mereka.
Korea Selatan menduduki peringkat 43 dari 175 negara yang terkategori bersih dari korupsi menurut Transparansi Internasional. Pada tahun 2014 Korea Selatan juga memperoleh nilai 55 dari 100 untuk indeks persepsi korupsi, dimana semakin tinggi nilai yang diperoleh maka semakin rendah tingkat korupsi di suatu negara.