[Singapura] Kebijakan Ketenagakerjaan Terkait Firma Hukum Asing
Urusan kependudukan berkaitan dengan tingkat kelahiran, kematian, lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi dan bahkan politik. Jika di Indonesia sedang berupaya untuk merapikan administrasi kependudukan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik, di Singapura fokus perhatian tentang kependudukan berhulu di kebijakan politik mengenai imigrasi karena hilirnya berkaitan dengan makin berkurangnya kesempatan sumber daya manusia lokal Singapura untuk memperoleh pekerjaan.
Singapura yang terkenal sebagai penghubung kawasan regional untuk industri keuangan dan jasa hukum menghadapi kendala yaitu munculnya sentimen warga negara Singapura karena meningkatnya sektor imigrasi oleh pekerja asing. Seperti yang dilansir oleh americanlawyer (9/12), Kebijakan politik pemerintah Singapura terkait imigrasi yaitu mengenai pembaharuan perizinan “Qualifying Foreign Law Practice (QFLP)”, yaitu perizinan yang memperbolehkan firma hukum asing untuk berparaktik di ranah lokal Singapura untuk bidang tertentu. Sebagai balasannya, maka firma hukum itu setuju untuk merekrut sumber daya manusia lokal Singapura untuk operasional kantornya di Singapura, namun jumlah sumber daya manusia yang direkrut nampaknya tidak signifikan.
Di Singapura, pengacara asing jumlahnya semakin meningkat berlipat ganda dari sejak 6 tahun lalu hingga saat ini sudah berjumlah 2000. Jumlah pengacara lokal juga meningkat namun tingkat pertumbuhannya rendah.
September lalu, pemerintah Singapura mengumumkan aturan terbaru yang mengatur perusahaan untuk “mempertimbangkan warga negara Singapura “sebelum mengajukan perizinan untuk merekrut pekerja asing. Sejak Agustus lalu, pemberi kerja mengiklankan pekerjaan di laman yang disponsori pemerintah sebelum memberikan pekerjaannya kepada pekerja asing, kemudian pola perekrutan dilakukan dengan cermat dan disandingkan dengan perusahaan yang sejenis untuk mengetahui apakah terdapat praktik diskiriminasi dalam perekrutannya.
Sejumlah negara juga mempunyai kebijakan yang sama, dan tetap terlihat sulitnya mengurus terkait izin kerja untuk pekerja baru. Seorang managing partner di Singapura, menurut seorang pengacara senior, tidak akan terpengaruh akan hal itu, pekerjaan sebagai managing partner memperoleh gaji lebih dari 9.560 Dolar AS dikecualikan dari hal yang diiklankan. Lebih dari itu, pemerintah Singapura menganjurkan agar firma internasional mempekerjakan managing partner yang sumber daya manusianya dari regional untuk berpraktik di Singapura. Namun berbeda halnya dengan staf pendukung dan junior associate.
Meskipun banyak pengacara mengatakan bahwa Singapura berkomitmen sampai sejauh ini untuk menjadi yang terdepan sebagai pusat industri keuangan dan jasa hukum internasional, namun mereka tidak melihat upaya pemerintah untuk mendukungnya.“Saya tidak terlalu khawatir” kata Managing Partner dari salah satu firma hukum dari Inggris yang berkebangsaan Asia. “ Singapura masih mempunyai banyak hal terkait bisnis yang perlu didukung oleh para pekerja profesional di sini, faktanya bahwa jumlah kompetisi di Singapura atau di tempat lain tidak seperti biasanya.
Terdapat 6 firma hukum internasional yang diberikan izin QFLP pada Desember 2008, yaitu Allen & Over, Clifford Chance, White & Case, Latham & Watkins, Norton Rose Fulbright dan Herbert Smith Freehills. Segera menjadi perhatian jika pemerintah Singapura menempuh upaya pendekatan baru terhadap profesi hukum global. Perizinan mereka secara periodik lima tahunan, saat ini sedang diperbaharui.
Dalam mendesain kebijakannya, Kementerian Hukum di Singapura mencanangkan 3 pencapaian yaitu, mendukung status Singapura sebagai pusat jasa hukum internasional, untuk menciptakan lebih banyak kesempatan kerja kepada pengacara lokal Singapura dan untuk memfasilitasi alih kemampuan serta pengetahuan terkait profesi global ke dalam ranah lokal. Masih menjadi perdebatan, apakah program QFLP telah dapat secara efektif menigkatkan setidaknya 2 pencapaian tersebut.
Dalam pidatonya tentang program QFLP, tahun kemarin, Menteri Hukum K Shanmugam mencatat bahwa 6 firma hukum yang diberikan izin QFLP telah menambahkan kombinasi sejumlah 200 pengacaranya sejak akhir 2008. Namun patut diperhatikan dua per tiga dari sejumlah itu adalah pengacara asing yang memenuhi persyaratan daripada pengacara lokal Singapura.
Sumber dari beberapa firma hukum QFLP menyatakan kepada Asian Lawyer bahwa mereka tidak melakukan perekrutan atau memenuhi target seperti yang dicantumkan dalam aplikasi QFLP nya. Seorang sumber juga berkata bahwa persyaratan mengenai perekrutan sumber daya manusia lokal akan mempengaruhi faktor pembaharuan izin QFLP.
Kementerian bidang hukum di Singapura bereaksi tentang review perizinan ke 6 firma hukum itu, Izin QFLP diberikan berdasarkan proposal dan komitmen dari setiap firma hukum, termasuk komitmennya terhadap sumber daya manusia lokal untuk dipekerjakan di kantornya. Pemenuhan komitmennya terhadap sumber daya manusia lokal menjadi pertimbangan dari pemerintah Singapura untuk proses pembaharuan perizinan.
Seorang senior partner dari ke 6 firma hukum itu berpendapat, tidak mungkin firma hukumnya kemudian tidak memperoleh status QFLP jika tidak memenuhi target dalam hal perekrutan. Menurutnya pemerintah Singapura setidaknya memahami secara rasional mengapa firma hukum tidak mampu memenuhi target yang dibuat pada 2008, sebelum terjadinya krisis global. Yang harus ditekankan bahwa pemerintah Singapura bisa memberikan ruang kepada firma yang memperoleh QFLP untuk memperluas ke area praktik baru untuk memenuhi kebutuhan perekrutan sumber daya manusia lokal.
Firma hukum QFLP lainnya juga setuju mengenai hal itu, bahwa pasar menjadi sangat kompetitif dalam 5 tahun terakhir, dengan sejumlah besar firma hukum baru yang memasuki pasar jasa hukum. Maka akan menjadi hal yang sulit bagi firma hukum QFLP untuk memenuhi target pendapatan ekonominya dan bahkan untuk meningkatkan perekrutan sumber daya manusia lokal.
Meskipun, menurutnya fakta mengenai jumlah pengacara asing yang meningkat berlipat ganda dapat menjadi isu sekarang ini. Namun hal yang ganjil, jika pemerintah tidak memperhatikan hal itu dari sejak dahulu. “dapat dikatakan bahwa mereka-pengacara asing- menjadi korban dari kesuksesannya sendiri” katanya.