[Singapura] Penerbitan Aturan Terbaru Tentang Penghinaan Lembaga Peradilan di Singapura, Berpotensi Menghambat Kebebasan Berpendapat
Seperangkat aturan hukum terbaru sedang diusulkan terkait dengan penghinaan lembaga peradilan dimana berisi ketentuan untuk menambahi hukuman. Hal itu telah menuai kritik dari banyak pihak termasuk juga dari para diplomat asing, dimana dikuatirkan akan berakibat terhadap kebebasan berpendapat di Singapura.
Hal ini dapat dimaklumi karena Singapura sudah beberapa tahun bersikap keras untuk melindungi nilai nilai kesusilaan yang pantas dan menjalin harmoni sosial yang baik terhadap kehidupan multi etnis. Sedangkan kalangan pers internasional berpendapat bahwa terdapat banyak halangan terkait kebebasan berpendapat dan di media massa demikian dikutip dari reuters.com.
Namun menurut, K. Shanmugam selaku menteri dalam negeri dan hukum, mewakili pemerintah menyatakan seperangkat aturan itu merupakan kristalisasi dari hukum. Sesuai aturan hukum, pelanggar dapat dikenakan denda hingga 100 ribu Dollar Singapura dan dapat dipenjara hingga tiga tahun lamanya. Aturan yang saat ini berlaku, tidak dikenakan denda apapun dan penghinaan terhadap lembaga peradilan masih berdasarkan pada preseden tentang suatu hal pelanggaran yang pernah terjadi di masa lalu.
Para pengkritik mengatakan bahwa rancangan aturan hukum itu mengandung kata kata yang samar serta kerasnya hukuman yang akan dijatuhkan dikuatirkan akan menghalangi kebebasan berpendapat, seperti dikuatirkan akan terjadi sensor pribadi.
Menurut Sui Yi Siong pengacara dari Harry Elias Partnership LLP, dia mengatakan akan terjadi dampak yang mengerikan dalam kebebasan berpendapat karena rancangan aturan hukum itu mengandung beberapa sanksi terhadap tersangka, terlebih kepada ancaman penjara dan denda. Menurut Sui Yi Siong, banyak orang yang akan berbuat salah dalam kondisi tersebut.
Sementara di Inggris telah menghapuskan aturan serupa dengan itu, yang disebut “Scandalising the Judiciary” pada 2013 yang didasarkan pada aturan itu tidak mendukung dan bertentangan dengan kebebasan berpendapat. Hal itu berdasarkan pernyataan dari Majelis Tinggi di Inggris kepada reuters. Perihal penghinaan tersebut tidak pernah dituntut di Inggris dan Wales sejak 1931.
Juru bicara dari Majelis Tinggi di Inggris menyatakan Inggris akan mendorong Singapura dan negara lainnya yang mempunyai tujuan sama dengan aturan hukum “Scandalising the Judiciary” untuk menghapuskannya.
Pihak Human Rights Watch mengatakan aturan hukum tersebut “sangat luas” dan mestinya direvisi untuk membatasi bidang tertentu dan juga hukuman yang tidak adil. Petisi juga telah diajukan oleh masyarakat untuk menunda berlakunya aturan hukum itu dan meminta klarifikasi terhadap ketentuan hukum tersebut kepada parlemen Singapura, ini merupakan petisi pertama sejak sembilan tahun terakhir namun hanya memperoleh 249 tanda tangan pendukung. Singapura sendiri memperoleh peringkat 154 dari 189 negara dalam World Press Freedom Index dibawah Republik Demokratik Kongo dan Venezuela.