Berlikunya Aturan Hukum Tenaga Kerja Asing di Indonesia (2)
Urusan tenaga kerja asing juga menarik minat daerah karena terdapat retribusi yang dapat menjadikan sumber pendapatan daerah. Kewenangan pemerintah daerah dalam urusan ketenagakerjaan dilakukan dalam struktur organisasi berbentuk dinas. Namun terdapat beberapa kewenangan yang dicabut setelah diberlakukannya Undang Undang Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003, yaitu perihal tugas dan wewenang dalam proses pemberian izin tenaga kerja asing. Di Kota Batam setelah diberlakukannya UUK tugas dan wewenang seksi penempatan kerja dan tenaga kerja asing tereliminir, hal ini sebagaimana rilis di laman Direktorat Jenderal Peraturan Perundang Undangan, Kementerian Hukum dan HAM.
Begitu pula halnya saat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi menerbitkan Surat Keputusan Nomor B.388/MEN/TKDN/VI/2005 tanggal 21 Juli 2005 yang telah disosialisasikan oleh Dinas Tenaga Kerja Kota Batam. SK ini pun mendapat tanggapan keras dari kalangan institusi bisnis di Batam untuk dapat meninjau kembali tentang pengesahan RPTKA.
Kedudukan UUK kemudian diperkuat dengan penerbitan Peraturan Menteri Nomor PER.02/MEN/III/2008 Tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing, dimana dalam pengajuan mempergunakan tenaga kerja asing untuk pertama kalinya diajukan kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Selanjutnya untuk perpanjangan diajukan dan diberikan oleh Direktur atau Gubernur/Walikota. Maka institusi yang akan mempekerjakan tenaga kerja asing pun harus mengurusnya di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi di Jakarta. Tentu saja dengan mekanisme ini membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit.
Laporan Akhir Penelitian dari BPHN berjudul “Permasalahan Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia”, pada 2005, menyatakan kerumitan yang dipandang oleh institusi bisnis untuk mengurus perizinan dalam rangka mempekerjakan tenaga kerja asing ini menjadi sorotan terutama bagi kementerian yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan untuk dapat meningkatkan kinerjanya dalam memberikan pelayanan khususnya pemberian izin mempekerjakan tenaga kerja asing
Dalam laporan dari BPHN tersebut juga menyatakan kepentingan terkait pengurusan izin penempatan tenaga kerja asing juga muncul sehubungan dengan pendapatan asli daerah (PAD) karena terkait dengan dana kompensasi di Provinsi Jawa Timur terdapat sekurang kurangnya 1400 tenaga kerja asing yang tersebar di wilayah Kabupaten/Kota.
Maka kemudian berkaitan dengan keberadaan tenaga kerja asing, sesuai semangat otonomi daerah pada waktu itu dan belum diterbitkannya UUK, Pemerintah Provinsi Jawa Timur membuat Perda Nomor 2 Tahun 2002 tentang Izin Kerja Perpanjangan Sementara dan Mendesak Bagi tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang, yang substansinya memberikan pembebanan kepada pengguna tenaga kerja asing di Jawa Timur untuk membayar dana kompensasi kepada pemerintah daerah provinsi dan hasil dana kompensasi tersebut dibagi secara proporsional kepada setiap Kabupaten/Kota yang terdapat di wilayah Provinsi Jawa Timur.
Contoh lain terdapat di Kabupaten Bekasi yang sebagian ruang wilayah diperuntukkan bagi kawasan industri, maka dengan didirikannya berbagai perusahaan industri, maka banyak terdapat tenaga kerja asing yang bekerja di perusahaan-perusahaan industri di wilayah Bekasi. Di Kabupaten Bekasi sedikitnya terdapat 1500 tenaga kerja asing, dari jumlah tersebut sebagian besar tenaga kerja asing tersebut berasal dari Korea dan Jepang.
Terkait tenaga kerja asing di Kabupaten Bekasi diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2001 tentang Hak dan Kewajiban Tenaga Kerja Asing, salah satu substansi pengaturannya berkaitan dengan kewajiban sertiap warga negara asing yang bekerja di wilayah Kabupaten Bekasi untuk menyetor uang sebesar US$100 per bulan kepada Pemerintah Kabupaten Bekasi.
Secara ekonomis ketentuan tersebut menghasilkan dana untuk pemerintah Kabupaten, karena dimasukkan ke dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Bekasi dan secara tidak langsung mekanisme tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk dari pengawasan tidak langsung, karena setiap bulan akan diketahui berapa jumlah tenaga kerja asing yang ada di Kabupaten Bekasi. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah dana yang disetor setiap bulan dari para pengusaha kawasan industri di Kabupaten bekasi ke kas Pemda Bekasi.
Perda Nomor 19 Tahun 2001 mempertimbangkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, Dalam undang-undang tersebut disebutkan daerah memiliki kewenangan mengatur keberadaan tenaga kerja asing demi pembangunan daerah, hal ini berarti pungutan yang berasal dari tenaga kerja asing seharusnya juga menjadi sumber pendapatan asli daerah. Sedangkan pemerintah pusat melalui Kementerian Keuangan menyatakan pungutan terhadap tenaga kerja asing sebagai pendapatan non pajak Kementerian Keuangan menyatakan pungutan tersebut harus di setor kepada Pemerintah Pusat.
Untuk menghindari perbedaan pemahaman dan ketidakpastian hukum dalam rangka pelaksanaan kewenangan ketenagakerjaan maka telah dikeluarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 130-67 Tahun 2002 tentang Pengakuan Kewenangan Kabupaten dan Kota. Pada lampiran Keputusan Mendagri, khususnya pada bidang ketenagakerjaan angka romawi I huruf A: Penempatan dan Pendayagunaan, angka 7 : Perizinan dan Pengawasan, perpanjangan izin penggunaan tenaga kerja asing, disebutkan bahwa kewenangan yang dilimpahkan kepada Kabupaten/Kota adalah :
- Penelitian pelengkapan persyaratan perizinan (IKTA);
- Analisis jabatan yang akan diisi oleh tenaga kerja asing
- Pengecekan kesesuaian jabatan dengan positif list tenaga kerja asing yang akan dikeluarkan oleh DEPNAKER;
- Pemberian perpanjangan izin (Perpanjangan IMTA);
- Pemantauan pelaksanaan kerja tenaga kerja asing; dan
- Pemberian rekomendasi IMTA.
Terkait permohonan IKTA dalam rangka penanaman modal asing, didasarkan pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi Nomor KEP-105/MEN/1977 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Izin Kerja Bagi tenaga Kerja Asing yang akan bekerja dalam rangka koordinasi penanaman modal, diatur bahwa IKTA dikeluarkan oleh Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Namun berdasarkan Kepmenaker Nomor KEP-03/MEN/1990 bahwa permohonan IKTA yang diajukan oleh pemohon yang merupakan perusahaan dalam rangka PMA dan PMDN, disampaikan kepada Ketua BKPM (Pasal 9 ayat 2). Kemudian Ketua BKPM atas nama Menteri Tenaga Kerja mengeluarkan IKTA dengan tembusan disampaikan kepada instansi teknis (Pasal 10 ayat 2 dan 3).
Selanjutnya pengaturan secara teknis tentang tata cara permohonan penyelesaian IKTA bagi perusahaan dalam rangka PMA dan PMDN, wajib menyesuaikan dan mengikuti ketentuan dalam Kepmenaker Nomor KEP-416/MEN/1990 (Pasal 21). Namun berdasarkan Kepmenaker Nomor KEP-169/MEN/2000 tentang Pencabutan Kepmenaker Nomor KEP-105/MEN/1977 Tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Izin Kerja bagi Tenaga Kerja Asing yang akan bekerja dalam rangka Koordinasi Penanaman Modal dan Kepmenaker Nomor KEP-105/MEN/1985 tentang Penunjukan Ketua BKPM untuk mensahkan (RPTKA) dalam rangka penanaman modal, mencabut wewenang pemberian izin kerja (IKTA) oleh Ketua BKPM dalam rangka penanaman modal (sejak tanggal 1 Juli 2000). Selanjutnya pemberian IKTA dilaksanakan oleh Menteri Tenaga Kerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.