Perubahan Undang Undang Jabatan Notaris Paska Putusan Mahkamah Konstitusi
Paska putusan MK No.49/PUU-X/2012 tanggal 28 Mei 2013 yang membatalkan frasa “dengan persetujuan majelis pengawas daerah” dalam pasal 66 ayat (1) UU No.30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Maka sejak putusan tersebut jika penyidik, penuntut umum atau hakim untuk kepentingan proses peradilan dapat memanggil notaris beserta alat bukti yang melekat pada notaris tanpa persetujuan Majelis Pengawas Daerah.
Berkaitan dengan legislasi tentang kenotariatan, seperti yang dilansir dari laman Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Pada Rapat Paripurna, (17/12) lalu, telah diambil keputusan terhadap RUU tentang perubahan atas UU No.30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Dalam laporan yang dibacakan Andi Rio Idris Padjalangi yang juga sekaligus sebagai Ketua Panitia Khusus, yang mengatakan bahwa RUU tersebut merupakan usulan inisiatif DPR dan telah disetujui oleh Rapat Paripurna pada 6 Maret 2012 silam. Kemudian pemerintah menindaklanjutinya dengan menugaskan Menteri Hukum dan HAM untuk melakukan pembahasan bersama dengan Pansus DPR.
Setelah melakukan beberapa rapat baik RDPU (Rapat Dengar Pendapat Umum) maupun Rapat Dengar Pendapat (RDP) serta Rapat Kerja dengan Pemerintah, Institusi, Kejaksaan, pakar kenotariatan dan berbagai elemen masyarakat, maka Pansus dan Pemerintah telah menetapkan DIM (daftar inventaris masalah) sebanyak 311 DIM, selanjutnya 35 DIM redaksional diserahkan kepada Timus (tim perumus) dan Timsin (tim sinkronisasi) dan 31 DIM substansi akan dibahas di Panja (Panitia kerja).
Sementara pada proses pembahasan di tingkat Panja, disepakati untuk membentuk 18 cluster dengan 72 DIM. Selanjutnya dalam perjalanan pembahasan cluster tersebut, Panja juga sempat melakukan konsultasi dengan Mahkamah Agung berkaitan dengan fungsi pengawasan terhadap notaris dan akibat hukum setelah putusan Mahkamah Konstitusi terkait fungsi pengawasan terhadap notaris.
Dalam pembahasan, permasalahan yang mencuat yaitu berkaitan dengan bentuk pengawasan terhadap notaris baik dari sisi pemanggilan maupun pengawasan notaris yang dikembalikan kepada kewenangan pengadilan. Dari hasil rapat konsultasi dengan Mahkamah Agung didapatkan bahwa Hakim agunglah yang akan menilai pengawasan yang dilakukan oleh Kemenkumham melalui MPD, MPW, dan MPP.
“Ada beberapa pertimbangan terhadap penentuan hakim agung sebagai penilai pengawasan. Diantaranya adalah pengawasan notaris merupakan tugas murni lembaga eksekutif sehingga sudah sepatutnya berada di bawah Kemenkumham. Kedua adalah, tugas-tugas hakim di daerah sudah cukup berat di bidang yudisial dan jika ada tugas pokok pengawasan terhadap pengawasan notaris, maka akan mengganggu tugas pokok lainnya,” menurut anggota Komisi III DPR RI ini. Selain itu, laporan setiap pengawasan tidak sesuai untuk dilaporkan kepada pengadilan mengingat secara hierarkis Kemenkumham dan MA saat ini sudah tidak saling menyatu.
Dari beberapa pertimbangan tersebut, maka dalam pengambilan keputusan tingkat I seluruh fraksi menerima dan menyepakati RUU terhadap perubahan atas UU No.30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Dengan adanya perubahan ini diharapkan RUU ini dapat lebih menegaskan dan memantapkan tugas, fungsi dan kewenangan notaris sebagai pejabat umum yang menjalankan pelayanan kepada masyarakat sehingga lebih menjamin perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat.