Antisipasi Kecanduan Online Game, di Korea Selatan Sedang Dirumuskan Aturan Hukumnya
Generasi muda di seluruh dunia saat ini yang terbiasa dengan teknologi, akrab dengan game baik berbentuk offline dan online, tengok saja di gadget kesayangan setidaknya terdapat beberapa macam game, namun perkara memainkannya itu bergantung kepada si pemakai. Kegemaran terhadap game dapat menjadi adiksi atau candu yang serius, maka kemudian untuk mengantisipasinya parlemen di Korea Selatan sedang mempertimbangkan untuk menanggulangi kecanduan terhadap online game. Hal ini karena terdapat permasalahan pada individu yang memainkan online game yang sedang populer yaitu “star craft” yang disertai dengan perjudian, selain itu juga obat obatan terlarang dan alkohol yang kemudian cenderung menjadi anti sosial.
Kabar yang ditulis Youkyung Lee pada bigstory.ap.org pada (11/12/2013) lalu menarik untuk disimak karena terkait Rancangan Undang Undang tentang online game yang mendapat dukungan dari para orang tua, pemuka agama, dan para dokter namun hal itu juga menimbulkan kekhawatiran bagi pelaku industri internet serta menimbulkan kemarahan diantara para gamer. Aturan hukum ini termasuk ketentuan pembatasan terhadap iklan meskipun secara terpisah pada Rancangan Undang Undang diatur juga ketentuan untuk mengambil 1 persen pendapatan industri game dan mendonasikannya kepada korban kecanduan.
Hingar bingar tentang rencana aturan hukum tersebut dikhawatirkan akan menimbulkan permasalahan sosial dan ekonomi terkait sektor teknologi di Korea Selatan. Pengusaha sektor internet sebagai sumber pemasukan dalam ekonomi yang didominasi oleh konglomerat. Namun kaum konsevatif pembuat hukum dan banyak orang tua mengatakan bahwa kecanduan internet semakin membuat generasi muda menjadi asing terhadap tugas tugas sekolah, keluarga dan tempat kerja.
“Kami ingin menciptakan Korea yang bersih dan bebas dari 4 kecanduan” kata Hwang Woo-yea, seorang anggota partai dan perumus aturan hukum. Upaya pihak legislatif didukung oleh 14 pihak yang termasuk perumus aturan hukum, hal ini sebagai cerminan fase terkini yang antara kultur Korea Selatan melawan kultur Amerika Serikat. Gamer profesional di Korea Selatan dapat memperoleh tingkat kesejahteraaan yang layak dan status sebagai bintang olahraga namun pada waktu lampau hal itu menyulut kritik dan dianggap sebagai ancaman terhadap kehidupan keluarga dan pergaulan sosial.
Yang pernah menjadi berita utama yaitu sewaktu tewasnya seorang bayi yang merupakan anak dari seorang gamer yang saati itu sedang asyik memainkan online game hingga kemudian menimbulkan kepanikan moral. Aturan hukum yang terbit pada 2011 kemudian melarang untuk memainkan online game antara tengah malam hingga fajar untuk setiap orang yang berusia dibawah 16 tahun, yang kemudian diajukan permohonan review ke Mahkamah Konstitusi Korea Selatan.
“Ada banyak anggapan bahwa bermain game adalah hal yang berbahaya” kata Lee byung-chan, seorang pengacara yang terlibat dalam permohonan review tersebut di Mahkamah Konstitusi”. Kemudian dia mengatakan bahwa banyak yang beranggapan bermain game sama berbahayanya dengan alkohol, obat obatan terlarang dan perjudian.
Perusahaan pembuat game menolak untuk disamakan dengan industri obat obatan terlarang atau sejenisnya yang dapat menimbulkan hal buruk. Menurut pelaku industri game, Rancangan Undang Undang itu dapat mematikan industri game. “ Seratus ribu pekerja di industri game bukanlah pembuat obat obatan terlarang”, hal itu ditulis oleh Asosiasi Internet Korea dan Hiburan Digital, yang mewakili industri game.
Online game telah menjadi hal yang signifikan sebagai industri yang dapat diekspor, hal ini karena kencangnya pertumbuhan internet broadband dan cyber cafe. Pada 2012, “MapleStory” dan online game lainnya memperoleh lebih banyak pendapatan dari luar Korea Selatan daripada gabungan sensasi dari “you tube” seperti Gangnam Style, Music K-Pop, Film dan produk budaya lainnya.
Pemerintah mulai mempelajari kecanduan pada game pada 2011. Pada studi terakhirnya ditemukan 2 persen dari masyarakat Korea Selatan berumur 10-19 tahun, atau sekitar 125 ribu orang, memerlukan perawatan karena terlalu berlebihan dalam memainkan online game atau disimpulkan berisiko kecanduan.
“Orang tuaku mencoba untuk menghentikanku memainkan online game, namun aku tetap memainkannya. Bahkan jika itu yang menghentikan adalah pemerintah sekalipun” kata Shin Minchul, yang berusia 21 tahun dan masih menempuh studi di suatu kampus saat dia menceritakan kegemarannya bermain online game di waktu lampau.
Pada saat sekolah dasar dia bersama dengan temannya bermain Star Craft di internet cafe setelah pulang sekolah, mereka bermain setidaknya selama 3 hingga 4 jam setiap harinya. Dia bermimpi untuk dapat menjadi seorang gamer profesional yang memperoleh sponsor dari korporasi, dimana memainkan game disiarkan di televisi kabel secara langsung yang ditonton jutaan pemirsa. Saat di bangku Sekolah Menengah Umum, dia memainkan permainan lain, yaitu “World of Warcraft” selama 15 jam non stop.
Orang tuanya sudah menegurnya namun dia tidak menghiraukannya. Akhirnya peringkat Shink yang semula dari level atas di sekolahnya menjadi level terbawah untuk urusan studi. Tidak ada hal yang dapat menghentikannya selain kemauan dari dirinya sendiri untuk berhenti dan menjauhi online game Warcraft. “Saat aku kemudian lebih memikirkan tentang masa depanku, game menjadi bukan hal yang penting lagi, dan aku kemudian menjadi tidak tertarik” kata Shin.
Para pendukung Rancangan Undang Undang mengatakan, kasus yang terjadi pada Shin menunjukkan betapa kontrol terhadap game diperlukan. Kim Min-sun, seorang ibu yang mempunyai 2 anak mengatakan bahwa online game telah membuat anak anak jauh dari kehidupan yang sebenarnya. “Tanpa online game, anak anak akan berbicara dan bermain dengan orang tuanya” kata Kim.
Pihak yang lain mengatakan bahwa Korea Selatan harus melakukan lebih banyak upaya untuk menanggulangi kecanduan terhadap game, hal ini karena kompetitifnya pendidikan dan kurangnya pilihan untuk mengisi waktu luang bagi para remaja. Korea Selatan mempunyai persentase yang rendah dalam tingkat kepuasan dan kebahagiaan pelajar di Sekolah pada 2012 diantara 65 negara yang disurvey oleh Organisation for Economic Co-operation and Development.