[Tanzania] Mengakomodasi Hukum Perkawinan Anak Bawah Umur di Tanzania
Para aktivis yang mengajukan petisi pada tahun ini di Tanzania telah memicu pengadilan untuk melarang perkawinan bawah umur sebagai bagian dari transformasi sosial yang diperlukan bagi banyak keluarga di Tanzania. Hal ini juga akan mendobrak sistem yang selama ini mengungkung anak di bawah umur untuk menikah.
Meski sudah mengetahui tak sebebas merpati, pernikahan anak di bawah umur umumnya tetap dilakukan, karena dalam keluarga mereka hal ini akan menyelamatkan keluarga dan disebut sebagai “survival system”.
“Hanya semata mata merubah aturan hukum tidak akan mengakhiri perkawinan anak bawah umur” kata Rebeca Gyumi, pendiri dari Msichana Institute yang bergerak di bidang sosial dan hak asasi perempuan. Hal yang diperlukan sejatinya adalah merubah mindset dan menganjurkan untuk mengganti adat istiadat dan tradisi supaya lebih baik dan terencana. Demikian kata Gyumi kepada Thomson Reuters.
Pengadilan di Tanzania juga telah menetapkan bahwa sesuai Undang Undang Perkawinan 1971 (Marriage Act) di Tanzania, dimana memperbolehkan perempuan umur 15 tahun menikah namun dengan izin orang tua dan umur 14 tahun harus dengan izin pengadilan, dinyatakan tidak berlaku lagi.
Kemudian aturan selanjutnya adalah mensyaratkan perkawinan minimal umur 18 tahun, hal itu semata mata ditetapkan karena adanya petisi dari Gyumi yang menyatakan bahwa aturan hukum yang lama telah melanggar hak perempuan untuk memperoleh persamaan, martabat dan akses kepada pendidikan sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi.
Perubahan Sikap
Hal yang juga tidak kalah penting adalah menyangkut perlunya perubahan sikap dan pemikiran di masyarakat, dimana orang tua mengawinkan anak perempuannya dengan tujuan bahwa anak lelakinya dapat bersekolah atau untuk membantu kehidupan ekonomi keluarga.
Sebagaimana dikabarkan oleh voanews.com pada awal November lalu, Gyumi menyatakan bahwa permasalahan yang berkembang adalah dominasi kaum lelaki, sistem patriarkis dimana anak perempuan diperlakukan tidak sama dengan lelaki. Dia menggambarkan bahwa perkawinan anak bawah umur sebagai suatu “survival system” di masyarakat dimana kemiskinan masih melingkupinya. Hal inilah yang menjadikan para orang tua memandang anak anak mereka sebagai solusi atas permasalahan yang dihadapinya.
Tanzania secara global mempunyai tingkat perkawinan anak yang tinggi, 2 diantara 5 anak perempuan telah menikah sebelum berumur 18 tahun, menurut laporan dari campaign group Girls Not Brides. Sudah secara umum di masyarakat hal itu dilakukan bahkan terhadap anak berumur 11 sekalipun. Secara global menurut Girls Not Brides setiap tahun lebih dari 15 juta anak perempuan telah menikah sebelum mereka berusia 18.
Perkawinan anak bawah umur membawa konsekuensi bahwa perempuan terhalang akses pendidikan dan kesempatan lainnya dan menempatkan mereka kedalam risiko terkena luka atau bahkan kematian jika mereka mempunyai anak sedangkan kondisi tubuh mereka belum siap. Mereka juga rentan terhadap kekerasan domestik dan seksual.
Menurut Gyumi, jika Tanzania serius untuk menghadapi momentum ini dalam pengaturan terhadap perkawinan anak bawah umur, maka dalam 20 atau 30 mendatang menjadi suatu hal yang dimungkinkan jika kemudian perkawinan anak bawah umur mengalami penurunan.
Menurutnya kaum laki laki juga mesti terlibat dalam upaya ini dan juga turut berkampanye melawan perkawinan anak bawah umur. Tanzania harus berubah dari negara yang mempunyai tingkat persentase tinggi dalam hal perkawinan anak bawah umur menjadi negara yang terus mencoba untuk merubah keadaan dengan merubah hukum dan mengedukasi masyarakat.
Juni lalu, Komisi HAM PBB, mengadopsi resolusi untuk mengakhiri perkawinan anak bawah umur dan menempatkannya sebagai bagian dari pelanggaran hak asasi manusia. Dalam pertemuan para pemimpin dunia tahun lalu pada konteks new sustainable development goals, mengakhiri perkawinan anak dibawah umur pada 2030 adalah target yang hendak dicapai.