“Lari Belok” Draft RUU Kelautan, Dari DPD ke Pemerintah
Jika saat ini Rancangan Undang Undang (RUU) Kelautan masih diupayakan untuk “berlari” kepada proses legislasi 2014 oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan sudah berada dalam prioritas legislasi 2014, namun ternyata larinya RUU itu berbelok dari semula yang diajukan oleh DPD diminta untuk ditarik dan diganti menjadi inisiatif pemerintah. Mungkin saat ini ibaratnya masih berada di “pantai” dan belum “berlayar ke lautan” untuk mewujudkan fungsinya sebagai regulasi di sektor kelautan. Mungkin hal ini sama seperti saat tokoh “Cinta” dalam suatu sinema Indonesia yang mengatakan “atau aku harus lari ke hutan, belok ke pantai”.
Sebagaimana rilis dari laman DPR RI pada (9/1/2014) DPR RI menerima Dewan Kelautan RI yang menanyakan progres mengenai pembasan Rancangan Undang-Undang tentang Kelautan. Ketua DPR RI menyarankan kepada Dewan Kelautan untuk menarik draf RUU tentang Kelautan dari Dewan Perwakilan Daerah RI, diganti menjadi inisiatif Pemerintah.
“Rancangan Undang-Undang tentang Kelautan sudah lama tidak mampu diselesaikan, maka saya sarankan kepada Dewan Kelautan untuk itu ditarik saja kemudian diganti menjadi inisiatif Pemerintah,” kata Ketua DPR RI marzuki Alie setelah menerima Dewan Kelautan Dedy H.Sutisna dan Syahroni R.Nasir, hadir pula Ketua Badan Legislasi Ignatius Mulyono, Rabu (8/1/2014), di Gedung DPR RI.
Marzuki Alie menjelaskan pada dasarnya yang menyusun selama ini dari Kementerian Kelautan juga, karena usulan disampaikan dari DPD, dan terkait dengan Keputusan Mahkamah Konsitusi. “DPD ingin pembahasan itu dilakukan secara tripartit, sedangkan dalam amanat konstitusi tripartit tidak ada,” ungkapnya.
Persoalan pembahasan tripartit tidak bisa dilakukan, sehingga RUU ini tidak mungkin diselesaikan. Oleh karena itu, sarannya sebaiknya ditarik saja sebagai usulan pemerintah.
“Kita harapkan Rancangan Undang-Undang tentang Kelautan bisa selesai dan tuntas, sehingga kerugian besar karena potensi kelautan Indonesia diambil negara-negara lain yang jumlahnya cukup besar bisa kita selamatkan dengan adanya UU ini,” jelasnya.
Pernyataan Marzuki ini senada dengan pernyataan Sharif C. Soetardjo, selaku Menteri Kelautan dan Perikanan. Sharif menegaskan, Indonesia memang harus segera memiliki UU Kelautan. Prinsip ini didasarkan pada kenyataan, bahwa saat ini telah ada berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur aspek laut. Namun substansi materi dalam peraturan tersebut justru terbagi-bagi sesuai dengan kebutuhan masing-masing sektor. Konsekwensinya, berbagai peraturan perundangan tersebut seolah beradu kuat dalam implementasinya. “Kenyataan ini terkesan pemerintah kurang tegas, sehingga dalam pelaksanaan di lapangan terjadi tumpang tindih kewenangan antar instansi yang menangani bidang kelautan,” ujarnya saat dalam wawancara dengan antaranews pada (10/1/2013).
Lebih lanjut menurut Syarif, selain menyiapkan RUU Kelautan, Dewan Kelautan Indonesia (DEKIN) juga menyiapkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kebijakan Kelautan Indonesia. RPP Kebijakan Kelautan Indonesia tersebut meliputi kebijakan di bidang budaya bahari, tata kelola kelautan, pertahanan, keamanan dan keselamatan laut, ekonomi kelautan, serta lingkungan laut. RPP Kebijakan Kelautan sudah selesai dibahas dengan stakeholders dan akan diajukan ke Presiden RI untuk disahkan. Di dalam RUU Kelautan dimasukkan beberapa muatan, seperti mainstreaming dan percepatan pembangunan kelautan nasional ke depan, terobosan terhadap permasalahan peraturan perundangan yang ada, dan pandangan ke depan terhadap kepentingan kelautan bagi bangsa Indonesia.”RUU Kelautan ini juga menetapkan hal-hal yang belum diatur dalam UU yang sudah ada di bidang kelautan seperti Kebijakan Blue Economy.” jelasnya.