Membungkus Asap Industri Rokok
Industri rokok sepertinya masih menjadi hal yang “seksi”, betapa tidak, industri padat karya yang mempekerjakan ribuan karyawannya ini memberikan penghasilan kepada karyawannya supaya asap dapur tetap mengebul. Lantas bagaimana dengan asap dapur pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah juga berupaya “membungkus asap” industri rokok. Asap yang dimaksudkan yaitu melalui mekanisme pemungutan pajak, diharapkan setidaknya turut menyokong pemasukan pemerintah pusat maupun daerah. Mulai 1 Januari 2014, Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang pajak Daerah dan Retribusi Daerah merestui pemerintah provinsi memungut pajak rokok sebesar 10% dari tarif cukai rokok.
Di wilayah DKI Jakarta, Pemerintah Provinsi DKI, akan mengesahkan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Pajak Rokok pada Oktober 2013 ini. Aturan hukum yang menjadi turunan dari Undang-Undang No.28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) ini akan bisa diundangkan pada 1 Januari 2014 mendatang.
Dengan adanya pajak baru ini, kantong Pemprov DKI tahun 2014 bakal semakin tebal. diperkirakan, nantinya akan ada dana tambahan Rp 326 miliar dari terbitnya aturan hukum ini. Perhitungannya diperoleh dari 10% pendapatan Cukai yang dipungut oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan dan disesuaikan dengan jumlah penduduk diwilayah tersebut. Dengan asumsi bahwa pendapatan Cukai pemerintah sekitar Rp 80 triliun, maka Pajak Rokok yang dibagi ke daerah mencapai Rp 8 triliun. Berdasarkan populasi penduduk Jakarta yang lebih dari 9 juta jiwa, maka diperolehlah angka tersebut. Demikian keterangan Kepala Dinas Pelayanan Pajak Pemprov DKI Jakarta, Iwan Setiawandi, sebagaimana kabar yang dilansir dari Kontan.
Perda tersebut tidak hanya berorientasi pemasukan ke kas daerah semata, namun juga mengakomodasi kepentingan kesehatan warga, dimana dalam Perda tersebut tertuang peraturan bahwa nantinya dana yang terkumpul dari pajak rokok sedikitnya 50% untuk pelayanan kesehatan penyakit TBC dan Paru-paru. Sementara itu sisanya akan digunakan untuk penegakan hukum yang berkaitan dengan rokok seperti sosialisasi bahaya rokok, serta pembangunan kawasan dilarang merokok. Iwan menambahkan “Dengan tercantum sedikitnya 50% digunakan untuk pelayanan kesehatan, maka diharapkan Pemprov DKI dapat menggunakan diatas 50%,”.
Sementara itu menanggapi rencana kenaikan yang disampaikan oleh Direktur Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan dan Cukai Ditjen Bea dan Cukai Susiwijono Moegiarso. yang mengusulkan kenaikan penerimaan cukai sebesar 5% pada 2014 guna mencapai target penerimaan cukai Rp114,3 triliun, bermacam reaksi muncul kepermukaan. Yaitu Industri rokok kecil dan menengah yang tergabung dalam Forum Masyarakat Industri Rokok Indonesia (FORMASI). Karena jika kenaikan cukai terjadi, maka hal ini tidak sesuai dengan penjelasan pasal 29 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah yang rencananya akan diimplementasikan pada 1 Januari 2014 nanti.
“Kami mematuhi undang undang No. 28 Tahun 2009, namun kami sangat berkeberatan jika pemerintah akan tetap menaikkan cukai di tahun 2014 karena hal ini jelas bertentangan dengan penjelasan pasal 29 UU No. 28 tahun 2009, bahkan kami minta tarif ‘cukai’ di golongan kami ‘diturunkan’,” tegas Heri menyusul rencana Pemerintah untuk menaikkan tarif cukai rokok. Kata Ketua Harian FORMASI Heri Susianto, sebagaimana masih juga dilansir dari Kontan.
Belum lagi dengan akan diterapkan pajak daerah rokok sebesar 10% mulai Januari 2014, dengan demikian maka beban bagi industri rokok akan berlipat – lipat, sehingga sangat memberatkan bagi pengusaha rokok. Maka Jika cukai tetap dinaikkan, kondisi industri rokok nasional akan terancam. Sebaliknya, kebijakan itu menjadi stimulus bagi tumbuhnya rokok illegal yang saat ini sudah ada sekitar 13 miliar batang mengisi pasar.
Namun reaksi yang berbeda ditempuh oleh sejumlah pihak yang mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi dengan No. Perkara 64/PUU-XI/2013, karena merasa haknya sebagai perokok dilanggar, merekalah yang mengaku sebagai perokok sejati, berturut turut yaitu Mulyana Wirakusumah anggota tim RUU HAM, Hendardi anggota PHBI, anggota Dewan Pimpinan Kerukunan Tani Indonesia Aizzudin, Ketua Presidium IPW Neta S Pane, dan Bambang Isti Nugroho. Sebagai perokok, para Pemohon itu merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan ketentuan pajak ganda atas cukai rokok. Mereka mempermasalahkan Pasal 1 angka 19, Pasal 2 ayat 1 huruf e, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 94 ayat 1 huruf c, dan Pasal 181 dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (DPRD), yang dinilai telah bertentangan dengan konstitusional, yakni Pasal 28D ayat 1 UUD 1945, sebagaimana dilansir liputan6.
Sebab, menurut para Pemohon, UU No 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai, juga telah menetapkan cukai rokok sebagai jenis pajak tidak langsung yang dipungut negara atas produk rokok. Dengan demikian terjadi pajak berganda atas produk rokok, jika undang-undang No. 28 Tahun 2009 diterapkan yang mengatur ketentuan pemerintah provinsi memungut pajak rokok sebesar 10% dari tarif cukai rokok. Saat berita ini dikabarkan, berdasarkan pemantauan di situs Mahkamah Konstitusi, perkara ini masih diperiksa dengan agenda persidangan yaitu mendengarkan keterangan Ahli/Saksi Pemohon dan Pemerintah (V), tertanggal 12 September 2013.