Polemik Hapus Tagih Piutang Bank BUMN
Dalam ranah perbankan dikenal istilah hapus tagih piutang, untuk keperluan restrukturisasi, namun sejauh mana kewenangan tersebut, tentu saja berbeda kebijakan antara bank swasta dengan bank yang berusaha dan dikategorikan sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Mengenai piutang bank BUMN ini, ramai dibicarakan semenjak adanya putusan dari Mahkamah Konstitusi No.77/PUU-IX/2011 tanggal 25 September 2012 dalam perkara Pengujian UU Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) pasal 4 ayat (1), (4), pasal 8, pasal 12 ayat 1 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai hukum mengikat. Oleh sebab itu piutang bank BUMN tidak lagi menjadi bagian piutang negara, sehingga pengurusan penagihannya tidak lagi menjadi urusan PUPN. Demikian laman Kontan melansir.
Maka dengan adanya putusan Mahkamah Konsitusi tersebut, apakah secara serta merta memperbolehkan bank BUMN menghapus hak tagih piutangnya lantas bagaimana dengan aspek keuangan negara yang berkaitan dengan bisnis bank BUMN, belum lagi perihal aset bank BUMN, karena hak tagih piutang dikategorikan sebagai aset dan layak dipertahankan nilai kemanfaatan sebagai aset.
Awal mulanya pimpinan dan pemangku kebijakan di berbagai bank BUMN pun tak urung menyambut gembira adanya putusan tersebut, mengingat putusan tersebut setidak-tidaknya bisa dijadikan dasar hukum untuk melakukan hapus tagih piutang. Alasannya dengan dilakukannya hal tersebut, maka untuk bank BUMN, bisa menciptakan kesetaraan menjalankan bisnis dengan bank swasta. Aksi ini juga bisa meningkatkan pendapatan non bunga dari pos pendapatan lain-lain. Namun kemudian ternyata kondisinya tidak semudah itu, karena penafsiran dari institusi bank BUMN menyimpulkan bahwa Mahkamah Konsitusi (MK) sudah membolehkan bank BUMN menghapus tagih piutang, ternyata berbeda tafsir bahwa putusan tersebut hanya berada dalam ruang lingkup pengurusan penagihan yang selanjutnya tidak menjadi kewenangan PUPN, dan bukanlah mengenai aset BUMN yang dihapuskan hak penagihannya.
Jebakan Hukum
Dikutip dari Kontan, Gatot Suwondo, yang merupakan Direktur Utama BNI, mengatakan, persetujuan hapus tagih dari DPR masih menunggu sinkronisasi beberapa Undang-Undang (UU) yang selama ini dianggap kontradiktif. Gatot juga tidak bisa memperkirakan waktu pelaksanaan hapus tagih itu. Menurut Gatot, “Yang jelas, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah membolehkan bank BUMN menghapus tagih piutang”.
Pendapat berbeda datang dari Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) dari partai Golkar, selaku Wakil Ketua Komisi XI Harry Azhar Azis menilai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tidak bisa dijadikan ketetapan hukum karena hanya menghapus peran Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN). Ia menyatakan putusan MK terkait piutang Bank BUMN tidak berdasar karena aturan pengelolaan aset ada di tangan pemerintah. Pada prinsipnya, pengelolaan aset negara harus dilakukan pemerintah dan instansi terkait. Sebagaimana berita dari laman dpr.go.id.
Menurut Harry, Korporasi (perusahaan BUMN) harus tunduk pada Undang Undang BUMN, ditegaskan di dalam Undang Undang bahwa pemegang saham perusahaan adalah Menteri Keuangan dan kuasa pemegang sahamnya adalah Menteri BUMN. Jika MK menilai penghapusan piutang negara bisa dilakukan oleh korporasi, hal tersebut secara jelas melanggar Undang Undang BUMN.
Menurutnya, keputusan MK yang ditetapkan justru bertabrakan dengan UU lainnya. Hal ini yang menyebabkan masih adanya polemik mengenai sudut pandang akan definisi aset BUMN, apakah aset BUMN bukan aset negara ataukah aset BUMN merupakan aset negara.
Dalam posisi ini, DPR beranggapan, aset BUMN ialah aset negara, sehingga bila ada penghapusan piutang oleh Bank BUMN, maka dampaknya bisa masuk ke dalam kasus korupsi, demikian laman Infobank melansirnya.
Maka setelah terbitnya putusan itu, para petinggi bank BUMN menyampaikan paparan mengenai besaran hapus tagih yang telah disetujui dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Direktur Utama Bank Negara Indonesia (BNI) Gatot M Suwondo memaparkan bahwa plafon hapus tagih yang disetujui dalam RUPS BNI adalah sebesar Rp 4,6 triliun. Kemudian Bank Tabungan Negara (BTN), plafon hapus tagih yang disetujui dalam RUPS adalah sebesar Rp 115 miliar dari Rp 743,5 miliar, demikian menurut Direktur Utama BTN Maryono. Bank Mandiri yang diwakili Direktur Treasury, Financial Institution and Special Asset Management Bank Mandiri Royke Tumilaar, menyampaikan plafon hapus tagih yang disetujui dalam RUPS Bank Mandiri adalah sebesar Rp 4,9 triliun dari total kredit macet sebesar Rp 32,75 triliun.
Sedangkan paparan Direktur Kepatuhan BRI Lenni Sugihat, plafon hapus tagih sebesar Rp 424,46 miliar demikian berdasarkan hasil RUPS Bank Rakyat Indonesia. Angka tersebut merupakan kredit macet akibat bencana alam dan telah dihapus buku lebih dari lima tahun. Namun total kredit macet BRI pada posisi akhir 2012 adalah sebesar Rp 24,66 triliun, dan sudah dilakukan pemulihan sebesar Rp 10,13 triliun, dengan demikian sisa kredit macet BRI adalah sebesar Rp 14,53 triliun dari 1,54 juta debitor, demikian sebagaimana dilansir Merdeka.
Sebagaimana lansiran dari Kontan mengenai mekanisme pengapusan tagih piutang tersebut , Gatot M Suwondo, dalam posisinya selaku Ketua Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) menjelaskan, bahwa hapus tagih piutang terbagi menjadi dua kategori. Yaitu pertama penyelamatan, kedua adalah penyelesaian, keduanya akan tercantum dalam Standar Operasional Prosedur (SOP) yang dimiliki oleh tiap bank BUMN. Maksudnya,”Dalam tiap kategori terdapat rincian nilai untuk pembayaran piutangnya, bisa berapa persen dari total utang yang dia miliki dan proses pembayarannya seperti apa,” jelas Gatot. Standar SOP tersebut juga akan dibuat oleh Himbara di mana tiap bank akan melanjutkan dengan detail sesuai kebijakan masing-masing.
Maka untuk mempertegas mekanisme hapus tagih, DPR akan merevisi Undang-Undang (UU) No 49/1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (UU PUPN), dan akan menjelaskan apa yang boleh dihapus tagih dan yang tidak boleh dihapus tagih. Penegasan aturan ini penting untuk mencegah moral hazard mekanisme hapus tagih, yang bisa merugikan negara kemudian hari. Sebagai contoh yaitu, suntikan modal sementara pemerintah, apakah perlu dikembalikan atau tidak perlu dikembalikan, demikian padanan kasuistisnya yang diterangkan oleh Harry.
Hal Ini bukan tanpa alasan karena salah satu pasal di Undang Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menyebutkan kekayaan negara yang dipisahkan pada perusahaan negara dan perusahaan daerah termasuk keuangan negara. Artinya, kekayaan bank BUMN bisa dianggap sebagai kekayaan negara. Maka tanpa ada revisi aturan itu, ada risiko bankir lantaran berani melakukan hapus tagih atas kekayaan negara. Efeknya, mereka bisa terjerat dengan Undang Undang lainnya, yakni UU Nomor 15/2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, demikian lansiran Kompas.
Keuangan Negara yang dipisahkan, jika mengacu ketentuan Undang Undang No. 17 Tahun 2003, pasal 2 huruf g berbunyi, Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, meliputi : kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah;
Selain itu juga perhatikan ketentuan pada pasal 24 ayat (1) yang berbunyi, Pemerintah dapat memberikan pinjaman/hibah/ penyertaan modal kepada dan menerima pinjaman/hibah dari perusahaan negara/daerah.
Kemudian juga Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, pasal 1 angka 10 menyebutkan Kekayaan Negara yang dipisahkan adalah kekayaan negara yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk dijadikan penyertaan modal negara pada Persero dan/atau Perum serta perseroan terbatas lainnya.
Dengan demikian unsur keuangan negara, melekat kepada subyek hukum sebagaimana diatur pada Undang Undang.
Polemik Aset BUMN
Badan Usaha Milik Negara (BUMN), pada tema ini adalah bank BUMN dalam menjalankan usahanya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, pada pasal 1 berbunyi Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
Pada materi UU Keuangan Negara, UU BUMN, UU Perseroan Terbatas tidak atau belum didefinisikan pengertian aset secara spesifik pada ketentuan umum, hal inilah yang menjadikan belum ada kesepahaman mengenai aset dari suatu bentuk badan hukum, khususnya Badan Usaha Milik Negara baik yang berbentuk Persero, Perseroan Terbuka maupun perum.
Jika dikorelasikan dengan ketentuan pasal 2 huruf g Undang-Undang No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, tentu saja ada unsur kekayaan atau aset BUMN yang termasuk dalam klasifikasi keuangan negara. Selanjutnya pembahasan mengenai aset ini, jika mengacu kepada bentuk korporasi, maka kekayaan negara pada awalnya dalam bentuk penyertaan lantas kemudian dikonversi menjadi saham. Sebagaimana diketahui saham inilah yang menjadi dasar bahwa pemerintah berposisi sebagai pihak pengendali BUMN. Sebagai contoh yaitu BUMN berbentuk Persero, modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 persen sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia, demikian pasal 1 angka 2 Undang Undang No.19 Tahun 2003. Berdasarkan ketentuan tersebut penyertaan Negara dominan dalam pengendalian badan usaha, maka saham saham yang kemudian diterbitkan atas nama pemegang saham memang memberikan kewenangan untuk membuat kebijakan terhadap aset perusahaan. Aset dalam pengertian akuntasi terbagi atas aset lancar (current assets) dan aset tak lancar (noncurrent assets), dalam kaitan piutang, maka termasuk aset lancar. Selanjutnya suatu BUMN dalam menjalankan usahanya tentu saja mempunyai aset lancar dan aset tidak lancar, dengan demikian nilai aset seluruhnya yang terdapat pada suatu BUMN dapat diukur, dan nilai saham tidak berbanding lurus dengan nilai aset BUMN. Misalkan BUMN X mempunyai total aset senilai 100, maka tidak selalu nilai saham bernilai total 100, karena nilai saham tidak sama dengan nilai aset. Maka dari itu misal jika pada awalnya suatu BUMN kapitalisasinya senilai 1000, kemudian kian berkembang dengan aset menjadi 10000, apakah lantas kepemilikan negara hanya 1000 sedangkan 9000 menjadi milik BUMN dan menjadi aset BUMN ansich. Secara korporasi aset senilai 10000 memang beratas namakan BUMN, namun harap diperhatikan bahwa saham terdapat pada BUMN tersebut turut berperan dalam proses operasional, melalui mekanisme RUPS, diperintahkan dan diperbolehkan bagi direksi untuk melakukan upayannya mengembangkan dan memajukan BUMN. Mekanisme RUPS inilah yang memberikan ruang bagi BUMN untuk melakukan penambahan aset, transaksi perolehan atau pengalihan aset, perolehan utang usaha, penjaminan suatu aset sampai dengan pemberian piutang usaha dalam kondisi tertentu.
Memang modal atau penyertaan yang diperoleh BUMN berasal dari Negara, kemudian dalam Undang Undang dikenal dengan kekayaan negara yang dipisahkan. Dalam konteks ini, tentu saja terlihat perbedaan legal standing (kedudukan hukum) BUMN dan negara, jika terjadi sengketa hukum terhadap BUMN dengan pihak lain, maka subyek hukum yang berwenang melakukan perbuatan hukum adalah BUMN dan bukan negara. Meskipun tidak jarang juga ditemukan pada perkara hukum yang lain, negara yang diwujudkan dalam hal ini disebut pemerintah dimungkinkan digugat oleh pihak tertentu.
Berkenaan dengan aset, tentu saja pencatatan atas kepemilikan hak kebendaan yang melekat tercatat atas nama BUMN selaku pemilik dan/atau penguasa aset, dan bukan atas nama negara, karena domain otonom yang berbeda. Maka aset-aset yang dimiliki dan/atau dikuasai oleh BUMN merupakan aset negara, hanya saja terpisahkan kekayaannya karena sudah dilakukan pemberian atau pelimpahan wewenang untuk mengurus suatu keperluan usaha yang dilakukan oleh BUMN sesuai dengan amanat Undang Undang.
Silakan dicermati penjelasan Pasal 4 Ayat (1) UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN, Yang dimaksud dengan dipisahkan adalah pemisahan kekayaan negara dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, namun pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat.
Berdasarkan uraian penjelasan pasal tersebut, maka dari itu berarti BUMN bertindak dan mengelola sesuai prinsip prinsip perusahaan yang sehat berdasarkan amanah dari Negara, karena negara bukan merupakan entitas usaha dan tidak melakukan suatu bentuk usaha.