Status Hukum Akuisisi XL Axiata-Axis Telekom
Industri telekomunikasi di Indonesia bertumbuh pesat, beberapa operator diberikan izin untuk beroperasi menggunakan frekuensi Global System for Mobile Communication (GSM), sementara yang lain menggunakan frekuensi Code Division Multiple Access (CDMA). Persaingan antara operator “the big three” di Indonesia, yaitu Telkomsel, XL Axiata, serta disusul oleh Indosat kasat mata terlihat sengit, masing masing berusaha menunjukkan keunggulan kompetitif dalam layanannya. Bermacam skema tarif dan layanan disodorkan ke konsumen, masih ditambah lagi paket bundling smartphone model terbaru.
Ditengarai, untuk meluaskan cakupan pasar dalam berkompetisi, PT XL Axiata Tbk mengakuisisi PT Axis Telekom Indonesia, sebagaimana pengumuman siaran persnya di Bursa Efek Indonesia, juga dimuat dalam laman www.xl.co.id , diumumkan bahwa PT XL Axiata Tbk (XL) sepakat untuk mengakuisisi PT Axis Telekom Indonesia (AXIS), melalui penandatanganan Perjanjian Jual Beli Bersyarat (Conditional Sales Purchase Agreement – CSPA) dengan Saudi Telecom Company (STC) dan Teleglobal Investment B.V. (Teleglobal), yang merupakan anak perusahaan STC. Isi Kesepakatan Perjanjian Jual Beli Bersyarat ini meliputi 1) Teleglobal akan menjual 95% saham di AXIS kepada XL, 2) 100% nilai perusahaan AXIS dinilai sebesar USD 865 juta, dengan catatan buku AXIS bersih dari utang dan posisi kas nol (cash free and debt free), 3) Harga Pembayaran akan digunakan untuk membayar nilai nominal saham AXIS, serta membayar hutang dan kewajiban AXIS, 4) Penyelesaian transaksi akan dilakukan setelah terpenuhinya kondisi yang disepakati antara lain; diperolehnya persetujuan dari instansi pemerintah terkait, persetujuan pemegang saham XL melalui Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB), dan tidak ada perubahan dari kepemilikan spektrum. Untuk memudahkan proses transaksi akuisisi, XL secara resmi menunjuk Merril Lynch (Singapore) Pte. Ltd. (Bank of America Merril Lynch) bertindak sebagai penasihat keuangan dari XL.
Meskipun santer diberitakan luas, baik media nasional maupun internasional, khalayak umum nampaknya beranggapan bahwa proses akuisisi ini tak lebih dari jual beli perusahaan semata, bahkan mungkin untuk sebagian kalangan nampak seperti akuisisi perusahaan pada umumnya. Namun dalam industri telekomunikasi, setidaknya ada hal khusus yang dijadikan perhatian mendasar, yaitu mengenai frekuensi. Sesuai dengan ketentuan hukum, frekuensi yang dipergunakan oleh penyelenggara jasa telekomunikasi tidak untuk dimiliki, namun hanya diberikan izin penggunaan dan pengelolaan atas frekuensi.
Merger atau akuisisi, dimana celah hukumnya
Penelusuran pemberitaan menemukan hal yang menarik untuk disimak dalam koridor hukum, simak komentar Bambang Adhiwiyoto, salah seorang Mantan anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), berpendapat bahwa aksi korporasi tersebut merupakan perbuatan yang dilarang oleh hukum, karena merger atau akuisisi perusahaan di sektor telekomunikasi, menurutnya mengacu kepada PP No. 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit, yaitu ketentuan pasal 25 ayat 1 dan ayat 2. Menurut Bambang, terdapat celah hukum atas aksi akuisisi tersebut, karena yang diperbolehkan untuk dipindahkan hanya izin stasiun radio atau BTS, bukan frekuensi, demikian sebagaimana dilansir oleh Merdeka.
Laman Merdeka juga memunculkan pendapat yang sekubu dengan Bambang, hal ini dikemukakan oleh Gunawan Wibisono, Pengamat Telekomunikasi dari Universitas Indonesia, menurutnya Kementerian selaku regulator seharusnya mencegah terjadinya transaksi spektrum frekuensi radio dan izin penyelenggaraan serta mencegah terjadinya transaksi sumber daya alam yang terbatas secara terselubung. Gunawan kemudian mengatakan harus ada batas transaksi sumber daya terbatas atau sumber daya tersebut harus dikembalikan ke pemerintah karena frekuensi bukanlah aset perusahaan sehingga tak bisa ikut serta dalam proses merger atau akuisisi.
Pada pemberitaan yang lain, Merdeka menampilkan kabar berita yang menerangkan bahwa Kementerian Komunikasi dan Informasi melalui Kepala Pusat Informasi dan Humas Kominfo Gatot S. Dewa Broto, bahwa pemerintah hanya mendukung proses konsolidasi berupa merger, bukan akuisisi. Maka langkah konsolidasinya adalah mengurangi jumlah operator yang terlalu banyak, meskipun untuk itu regulator harus menatanya kembali. Maka jika proses akuisisi yang dilakukan, artinya jumlah frekuensi XL dan Axis hanya ditambahkan, bukan diambil untuk ditata lebih lanjut.
Terdapat beda perspektif antara Kementerian dengan XL Axiata, di satu sisi Kementerian hanya mendukung proses konsolidasi berupa merger (penggabungan), sedangkan dalam aksi korporasi XL Axiata, yang dilakukan adalah akuisisi (pengambilalihan). Dalam khasanah hukum, terdapat perbedaan yang tegas antara merger dan akuisi. Tinjauan hukum tentang merger dan akuisisi mempunyai pembahasan yang berbeda sehingga menimbulkan akibat hukum yang berbeda pula. Mengacu kepada ketentuan pasal 1 angka 11 Undang undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyebutkan pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham Perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Perseroan tersebut. Maka dalam konteks perjanjian jual beli bersyarat antara XL Axiata dengan Axis Telekom terutama pada ketentuan Teleglobal akan menjual 95% saham di Axis kepada XL, termasuk dalam kriteria akuisisi sebagaimana disebut diatas, karena beralihnya pengendalian atas AxisTelekom. Namun demikian, status badan hukum Axis Telekom, yang bernama badan hukum secara lengkap yaitu PT. Axis Telekom Indonesia, tetap ada dan diakui keberadaannya dalam sistem hukum di Indonesia. Demikian pula aktiva dan pasiva tetap melekat pada badan hukum tersebut.
Sedangkan ketentuan mengenai penggabungan (merger) pada pasal 1 angka 9 yang menyebutkan Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum Perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum. Jika proses penggabungan (merger) yang dilakukan, maka sebagai badan hukum, Axis Telekom bergabung ke XL Axiata, beserta seluruh aktiva dan pasivanya, lantas kemudian status badan hukum Axis Telekom akan berakhir karena hukum.
Lebih lanjut jika diperhatikan muatan CSPA/Perjanjian Jual Beli Bersyarat,
1) Teleglobal akan menjual 95% saham di AXIS kepada XL,
Ketentuan ini jelas bahwa terjadi proses peralihan hak atas saham, dengan cara jual beli, maka secara hukum konstruksi jual beli mengacu kepada beralihnya kepemilikan.
2) 100% nilai perusahaan AXIS dinilai sebesar USD 865 juta, dengan catatan buku AXIS bersih dari utang dan posisi kas nol (cash free and debt free)
Penilaian atas aktiva dan pasiva perusahaan dengan ukuran sejumlah uang tertentu, dimana nilai uang ini menjadi syarat peralihan kepemilikan perusahaan, melalui mekanisme peralihan hak atas saham
3) Harga Pembayaran akan digunakan untuk membayar nilai nominal saham AXIS, serta membayar hutang dan kewajiban AXIS,
Pembayaran yang dilakukan untuk mengambil alih saham AXIS dan mengambil alih hutang dan kewajiban AXIS, hal ini dikarenakan proses akuisisi mencakup semua segi aspek korporasi termasuk aktiva dan pasiva perusahaan
4) Penyelesaian transaksi akan dilakukan setelah terpenuhinya kondisi yang disepakati antara lain; diperolehnya persetujuan dari instansi pemerintah terkait, persetujuan pemegang saham XL melalui Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB), dan tidak ada perubahan dari kepemilikan spektrum.
Setelah proses akuisisi ditandatangani oleh para pihak, maka dokumen yang menunjukkan telah terjadi perubahan kepemilikan saham dilaporkan kepada instansi pemerintahan terkait, diantaranya yaitu akta perusahaan, surat persetujuan perubahan akta dari Kementrian Hukum dan HAM, surat persetujuan dari BKPM, serta surat persetujuan dari Kementrian Komunikasi dan Informasi.
Pemahaman yang berbeda
Beberapa pihak menafsirkan dan memahami Peraturan Pemerintah (PP) No. 53 tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit, yaitu pada Pasal 25 ayat (1 ) yang berbunyi Pemegang alokasi frekuensi radio tidak dapat mengalihkan alokasi frekuensi radio yang telah diperolehnya kepada pihak lain. Ayat (2) berbunyi lzin stasiun radio tidak dapat dialihkan kepada pihak lain kecuali ada persetujuan dari Menteri.
Konjungsi “dan atau”
Silakan disimak penjelasan pasal pada Peraturan Pemerintah tersebut, penjelasan ayat (1) cukup jelas, pada ayat (2) Pada prinsipnya izin stasiun radio tidak dapat dialihkan. Namun, dalam hal kepemilikan perusahaan dialihkan dan atau ada penggabungan antara dua perusahaan atau lebih, maka pengalihan izin stasiun radio dimungkinkan setelah mendapatkan persetujuan dari Menteri.
Kabar berita yang marak di media, dukungan pihak Kementerian yaitu hanya dilakukannya penggabungan (merger), jika landasan hukum yang dipergunakan adalah PP No. 53 Tahun 2000, pada ayat 2, terutama pada kalimat “dalam hal kepemilikan perusahaan dialihkan dan atau ada penggabungan antar dua perusahaan atau lebih”, konteks yang lebih dimunculkan adalah penggabungannya.
Jika menurut tinjauan hukum, dimungkinkan terjadinya proses merger sesuai ketentuan Undang Undang Perseroan Terbatas. Namun sebaiknya diperhatikan pula, dalam ayat tersebut, pada kalimat “dalam hal kepemilikan perusahaan dialihkan”, kalimat tersebut memberikan ruang bahwa proses peralihan kepemilikan perusahaan bisa dilakukan melalui akuisisi perusahaan sebagaimana dimaksudkan Undang Undang Perseoran Terbatas, mengingat terdapat kata penghubung (konjungsi) “dan atau” setelahnya. Kata penghubung dan atau, dapat diperlakukan sebagai “dan” untuk menjadikan satu kesatuan, dapat juga diperlakukan sebagai “atau” jika mengandung arti pilihan.
uraian pada ayat 2 dengan konjungsi “dan”
“Namun, dalam hal kepemilikan perusahaan dialihkan dan ada penggabungan antar dua perusahaan atau lebih, maka pengalihan izin stasiun radio dimungkinkan setelah mendapatkan persetujuan dari Menteri.
Dengan demikian maksud dari kalimat pada ayat ini, perusahaan dialihkan dan ada penggabungan antar dua perusahaan atau lebih. Konsentrasi tertuju pada perusahaan dialihkan dan perusahaan digabung, hal ini melekat serta menjadi kesatuan karena konjungsi “dan”
uraian pada ayat 2 dengan konjungsi “atau”
“Namun, dalam hal kepemilikan perusahaan dialihkan atau ada penggabungan antar dua perusahaan atau lebih, maka pengalihan izin stasiun radio dimungkinkan setelah mendapatkan persetujuan dari Menteri”
Dengan demikian maksud dari kalimat pada ayat ini, perusahaan dialihkan atau ada penggabungan antar dua perusahaan atau lebih. Konsentrasi tertuju pada perusahaan dialihkan atau perusahaan digabung. Hal ini memberikan pilihan dan tidak melekat menjadi satu kesatuan karena konjungsi “atau”.
Tentu saja keduanya memiliki unsur pembeda, dalam hal pengalihan perusahaan melalui proses penggabungan (merger), penafsiran yang muncul berdasarkan penggunaan konjungsi “dan”, sedangkan dalam hal pengalihan perusahaan melalui proses pengambilalihan (akuisisi) penafsiran yang muncul berdasarkan penggunaan konjungsi “atau”. Maka pendapat dari pihak Kementerian bahwa proses yang yang didukung adalah penggabungan karena mengacu ayat tersebut, bisa dibenarkan. Namun demikian juga jika pihak XL Axiata melakukan aksi korporasi berdasarkan frasa “kepemilikan perusahaan dialihkan” memakai konjungsi “atau”, hal ini memberikan pilihan bahwa perusahaan dialihkan sehingga mengesampingkan makna “penggabungan perusahaan”. Pola tersebut nampaknya memberikan ruang gerak untuk aksi korporasi XL Axiata dengan mengakuisisi Axis Telekom.
Tentang Stasiun Radio
Seperti telah diuraikan diatas mengenai Peraturan Pemerintah No. 53 tahun 2000 pasal 25 ayat (2) , hal yang menarik dicermati yaitu frasa “stasiun radio” . Apakah yang dimaksud stasiun radio itu, apakah termasuk dalam kategori stasiun radio dalam hal penyiaran, kemudian apakah operator jasa telekomunikasi termasuk kategori stasiun radio, dan apakah perizinan pengalihan stasiun radio sama dengan perizinan pengalihan penyelenggara jasa telekomunikasi.
Jika mengacu pada Profil Perusahaan Tercatat di laman Bursa Efek Indonesia, tercantum nama PT. XL Axiata Tbk, tanggal IPO (Initial Public Offering) 29 September 2005, Bidang usaha jasa telekomunikasi internasional, sektor infrastruktur, utility dan transportasi, dengan subsektor telekomunikasi. Maka sebagai penyelenggara jasa telekomunikasi sebagaimana ketentuan Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi, Pasal 1 angka 10 menyebutkan Penyelenggaraan jasa telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan atau pelayanan jasa telekomunikasi yang memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi.
Tentu saja dalam penyelenggaraan pelayanan jasa telekomunikasi ini memerlukan jaringan radio (radio network) untuk operasionalnya. Radio ini memerlukan suatu bentuk tempat atau lokasi yang disebut stasiun dalam mengaturnya. Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan definisi radio sebagai ra·dio n 1 siaran (pengiriman) suara atau bunyi melalui udara. Namun untuk definisi stasiun dan juga stasiun radio pada Kamus Besar Bahasa Indonesia nampaknya tidak sesuai untuk memadankan pengertian stasiun radio pada ranah telekomunikasi.
Selanjutnya pengertian stasiun radio menurut Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit, pasal 1 angka 10 menyebutkan stasiun radio adalah satu atau beberapa perangkat pemancar atau perangkat penerima atau gabungan dari perangkat pemancar dan penerima termasuk alat perlengkapan yang diperlukan disatu lokasi untuk menyelenggarakan komunikasi radio.
Pengertian mengenai radio dalam konteks bahasan ini, bukanlah mengenai radio yang mempunyai frekuensi AM/FM seperti yang umum dipahami, yaitu dalam konteks pengertian sebagai penyiaran radio. Namun apabila pengertian stasiun radio ini dipersamakan maknanya sebagai siaran radio, tentu saja hal ini sangat berbeda konteks permasalahannya, karena pengertian penyiaran radio diatur pada Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta, pada pasal 1 angka 2 menyebutkan Lembaga Penyiaran Swasta adalah lembaga penyiaran yang bersifat komersial berbentuk badan hukum Indonesia, yang bidang usahanya hanya menyelenggarakan jasa penyiaran radio atau televisi.
Sampai dengan hari ini, belum terdapat kabar terbaru mengenai Keputusan Kementrian Komunikasi dan Informatika terkait transaksi akuisisi ini, masih dikaji oleh pihak kementrian, demikian kabar dari laman Kementerian. Sebagai catatan bahwa untuk urusan telekomunikasi dan penyiaran memang berbeda konteks permasalahannya, namun lingkup kewenangannya berada di Kementrian Komunikasi dan Informatika, maka sebaiknya untuk lebih cermat memilah konteks permasalahan dalam aksi korporasi Xl Axiata ini.