Upaya Kejaksaan Agung Inggris Terkait Contempt of Court Akibat Twitter
Bidadari tak lagi berada dalam kesunyian dan kesepian, karena sudah diciptakan twitter, maka bertambahlah kesibukan bidadari dengan ngetwit. Urusan dengan manusia di muka bumi juga makin mudah dan cepat, tuliskan saja di lini masa dan segera terjadi perbicangan. Revolusi kebudayaan yang terjadi pada masa kini telah menerobos ruang dan waktu, twitterland adalah tempatnya riuh dan gaduh saat di lini masa mencuat kabar berita yang menjadi trending topics. Istilah ngetwit lazim didengar saat ini, suatu periode masa dimana manusia mudah untuk “cuap cuap” bergembira atau merana serta mengolok atau menyanjung.
Namun berhati hatilah dengan twitterland, karena twitt yang disampaikan bisa membayakan diri sendiri maupun orang lain, jika tidak bijak maka risiko berurusan dengan hukum. Seperti yang terjadi di Inggris, dimana orang yang berbagi atau menggunggah materi tentang suatu perkara hukum di pengadilan dapat di kategorikan sebagai perbuatan melawan pengadilan atau contempt of court.
Dikutip dari legalweeklaw yang mengabarkan pada (5/12/2013), Sally Bercow harus menanggung akibat perbuatannya karena isi twitt tentang Lord McAlpine, dia menulis “Mengapa Lord McAlpine menjadi trending topik?” *innocent face*.
Apa yang dilakukan pengguna twitter menyebabkan timbulnya gugatan perdata atau malahan yang lebih buruk lagi menyebabkan seseorang dipenjara. Pada Juni 2013 lalu, pihak Kejaksaan Agung di Inggris telah menerbitkan petunjuk mengenai penuntutan terhadap perkara yang muncul dari ranah media sosial dan contoh mengenai tuntutan pidana yang mungkin timbul dari aktivitas di media sosial yang diberikan makna meluas dan dipersamakan dengan tindakan kriminal atau kejahatan dalam jaringan (online).
Menurut hukum Inggris, contempt of court diatur pada contempt of court act 1981 yang memberikan sanksi kriminal termasuk juga hukuman penjara kepada siapapun pihak yang melakukan perbuatan ikut mencampuri urusan pengadilan saat terjadi pemeriksaan perkara di persidangan.
Pihak Kejaksaan Agung adalah pihak resmi yang bertanggung jawab untuk mengambil tindakan guna mencegah munculnya perbuatan yang berisiko mempengaruhi terhadap proses persidangan. Namun, yang dikhawatirkan pihak Kejaksaan Agung hanyalah media mainstream, maka jika kemudian dalam suatu perkara muncul banyak spekulasi di media mainstream. Diterbitkan “petunjuk” yang kemudian disebarluaskan kepada awak media untuk memperingatkan bahwa komentar dan pemberitaan terhadap perkara yang sedang berjalan mempunyai risiko yang dapat dikategorikan sebagai contempt of court.
Sampai saat ini “petunjuk” itu yang dapat disebut sebagai materi supaya media mengerti bahwa suatu materi “tidak untuk dipublikasikan”, masih tetap berlaku. Namun dalam hal telah adanya perubahan dan perkembangan zaman, terlebih dengan adanya sosial media, maka sudah saatnya pengumuman berupa “petunjuk” dari Kejaksaan Agung harus dirubah. Dengan adanya twitter, setiap orang yang mempunyai follower dapat “bertindak” sebagai jurnalis. Selain itu juga, media yang profesional telah mengerti batas batas yang sesuai koridor hukum dan bertindak tanpa merugikan suatu pihak saat proses persidangan sedang berjalan, namun hal ini berbeda dengan pengguna twitter pada umumnya yang tidak atau kurang mengerti etika profesional jurnalis.
Maka dari itu sekarang, pihak Kejaksaan Agung menerbitkan pemberitahuan yang dapat diakses di laman resmi pemerintahan (www.gov.uk) dan melalui akun twitter resmi Kejaksaan Agung Inggris (@AGO_UK) untuk membantu mencegah pengguna media sosial melakukan contempt of court.
Perubahan kebijakan ini terkait penuntutan yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung Inggris terhadap pengguna media sosial pada awal tahun 2013 ini, dengan terdakwa yaitu seorang laki laki yang menggunggah foto dari seseorang yang diklaim sebagai Jon Venables, yang didakwa melakukan tindak pidana dan hal ini melanggar hukum.
Kemudian si pelaku pengunggah foto ini dijatuhi pidana penjara pada November lalu. Ini adalah kasus yang ketiga kalinya yang dilakukan penuntutan oleh Kejaksaan Agung Inggris karena melanggar pelanggaran hukum terkait contempt of court. Namun faktanya, meskipun telah diumumkan dan ada akibat hukum namun tetap saja hal ini terus terjadi. Apa yang dilakukan Kejaksaan Agung adalah untuk menunjukkan kepada pengguna twitter bahwa hukum juga berlaku terhadap mereka.
Terkait perubahan aturan itu, Jaksa Agung Inggris, Dominic Griece meyakinkan kepada masyarakat bahwa langkah perubahan ini tidak berkaitan dengan unsur penyensoran pemberitaan, namun ditujukan kepada upaya untuk memfasilitasi pemberitaan yang caranya sesuai dengan hukum. Hal ini supaya pengadilan dapat memeriksa dengan leluasa apakah suatu perbuatan pidana atau perkara hukum akan terbukti atau tidak terbukti di persidangan.
Dalam pengumuman laman pemerintahan tertanggal (4/12/2013) itu tidak hanya twitter yang menjadi perhatian utama, tetapi juga facebook. Pengumuman itu dimaksudkan agar proses persidangan tidak terpengaruh oleh upaya pemberitaan atau komentar yang muncul dari media sosial. Bagian yang patut disorot pada pengumuman itu adalah mengenai proses pemeriksaan perkara di persidangan adalah berdasarkan bukti bukti yang ada, dan bukan berdasarkan pemberitaan dalam jaringan (online).
Namun pemerintah Inggris menghadapi hal yang sulit dalam mengendalikan spekulasi pemberitaan yang muncul di media sosial, terutama dalam menjinakkan twitter, mungkin diperlukan bidadari untuk melakukan itu.