[Amerika Serikat] Perlindungan Lisensi Merek Ketika Dalam Pailit
Pada Mei lalu, Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam perkara Mission Product Holdings Inc v Tempnology LLC dimana debitor menolak executor contract yang diatur dalam Section 365 Bankruptcy Code. Hal ini mempunyai efek yang sama dengan pelanggaran kontrak di luar konteks kepailitan. Putusan itu menyatakan suatu bentuk inter-circuit split yang mempunyai akibat dalam kepailitan di mana pihak lisensor menolak lisensi merek. Ini tentu saja menimbulkan pertanyaan terkait lisensi merek. Hasilnya putusan itu mempunyai dampak yang berbeda ke lisensor merek dan pemegang merek sebagaimana dijelaskan seperti berikut ini.
Sesuai dengan Section 365 (a) Bankruptcy Code, debitor mempunyai hak untuk menerima atau menolak sesuai executor contract. Dalam hal debitor menolak kontrak, seperti yang diatur dalam Section 365 (g), dimana menyebutkan bahwa penolakan debitor merupakan pelanggaran perjanjian.
Secara umum akibat dari pelanggaran kontrak itu, vis-à-vis penolakan sesuai Section 365 diatur oleh aturan diluar hukum kepailitan. Maka dari itu, penolakan debitor dalam soal hak kekayaan intelektual secara spesifik diatur dalam Section 365(n).
The Bankruptcy Code menjelaskan tentang “kekayaan intelektual” termasuk, inter alia, rahasia dagang dan paten, namun merek tidak termasuk dalam definisi tersebut. Dalam putusan Mahkamah Agung menyatakan bahwa penolakan debitor dalam perjanjian merek diatur dalam Section 365 (g) dan menolak pendapat debitor lisensor yang berdampak dalam penolakan tersebut dipengaruhi oleh provisi yang diatur dalam penolakan perjanjian terkait hak kekayaan intelektual, dimana hal itu diatur dalam Bankruptcy Code, seperti dikabarkan natlawreview.com.
Sesuai dengan putusan dalam beberapa circuits, penolakan lisensor merek dalam perjanjian lisensi akan mengakhiri hak pemegang lisensi untuk menggunakan merek. Hal ini tentu saja merugikan pemegang lisensi dimana bisnis mereka dibangun dengan merek yang berasal dari lisensi. Berdasarkan putusan ini, maka Mahkamah Agung menyatakan bahwa penolakan debitor lisensor dalam perjanjian lisensi merek kemudian dilanggar, bukan dibatalkan dalam perjanjian itu. Hasilnya ketika terjadi penolakan, bisa saja pihak pemegang lisensi menguasai haknya sesuai perjanjian lisensi dimana memberikan hak tertentu kepada pemegang lisensi sesuai aturan hukum diluar kepailitan yang mengatur tentang pelanggaran debitor lisensor dalam perjanjian.
Sebagaimana dimuat dalam putusan, sekarang diperbolehkan bagi pemegang lisensi untuk melanjutkan penggunaan mereka atau lisensi bahkan ketika terjadi penolakan debitor lisensor dalam perjanjian yang relevan, selama pemegang lisensi dinyatakan mempunyai hak tersebut sesuati aturan hukum diluar kepailitan. Sebagai tambahan terhadap hak tersebut sesuai aturan hukum diluar kepailitan, the Bankruptcy Code juga memberikan kepada pemegang lisensi hak untuk menuntut klaim terhadap kerugian sesuai dengan Section 365 (g) dikarenakan penolakan debitor lisensor, sebagai contoh dalam hal pelanggaran perjanjian.
Meskipun putusan tersebut sepertinya tidak menguntungkan bagi lisensor, tapi Hakim Sotomayor memberikan opininya sebagai berikut :
[T]he Court does not decide that every trademark licensee has the unfettered right to continue using licensed marks post rejection. The Court granted certiorari to decide whether rejection “terminates rights of the licensee that would survive the licensor’s breach under applicable non-bankruptcy law.’ …The answer is no, for the reasons the Court explains. But the baseline inquiry remains whether the licensee’s rights would survive a breach under applicable non-bankruptcy law. Special terms in a licensing contract or state law could bear on that question in individual cases.
Slip Op., 1 (Emphasis added).
Ini dapat dipahami sebagai lisensor dapat menyertakan perjanjian lisensi merek, sebagai contoh provisi untuk membatalkan atau menarik hak pemegang lisensi dalam hal pelanggaran perjanjian. Pemegang lisensi dapat berhati hati dalam provisi itu saat berlangsung negosiasi lisensi.