[Tiongkok] Setahun Kemarin, Kontroversi Wacana Undang Undang Anti Terorisme Tiongkok
Terorisme adalah kejahatan yang terkategori luar biasa dan merupakan ancaman serius terhadap masyarakat dan kedaulatan negara. Setiap negara mempunyai instrumen hukum ataupun pertahanan keamanan untuk menanggulangi kejahatan terorisme. Pembentukan aturan hukum tentang anti terorisme tentu saja disesuaikan dengan sistem sosial, hukum dan politik negara di setiap kawasan.
Meskipun Tiongkok sudah menyelesaikan Undang Undang tentang anti terorisme pada desember 2015 lalu, namun aturan hukum tersebut masih menuai kontroversi dari berbagai kalangan.
Para pegiat hak asasi manusia mengatakan bahwa aturan hukum anti terorisme sangat luas tafsirannya dan dapat saja berbenturan dengan kaum minoritas keagamaan yang bersuara keras terhadap pemerintah. Selain itu juga aturan hukum anti terorisme tidak sejalan dengan standar internasional dan juga memberikan kewenangan yang luar biasa besar kepada lembaga anti terorisme.
Amnesti Internasional juga berpendapat sama, mereka mengatakan pada waktu rancangan undang undang sedang disusun, tidak ada jaminan perlindungan terhadap kelompok minoritas tertentu untuk menjalankan agamanya bahkan upaya mengkritik pemerintah dapat saja dianggap sebagai bentuk “terorisme atau ekstrimisme”, demikian dikutip dari bbc.com (28/12/2105).
Reuters.com dalam laporannya pada (28/12/2015) menyebutkan, aturan hukum anti terorisme menyatakan bahwa tentara Tiongkok dapat melakukan operasi pemberantasan terorisme di luar negeri. Bahkan perusahaan teknologi juga diminta untuk menyediakan bantuan kepada pemerintah Tiongkok untuk informasi yang dienkripsi jika pihak pemerintah membutuhkannya.
Sementara pihak media dilarang untuk melaporkan pemberitaan detail dalam serangan terorisme, termasuk juga media dan sosial media tidak boleh melaporkan aktifitas terorisme yang dapat saja ditiru oleh pihak lain. Selain itu juga media dilarang untuk memberitakan tentang peristiwa teror yang terkategori kejam dan tidak berperikemanusiaan.
Namun mencermati wacana penuh kontroversi tentang undang undang anti terorisme di Tiongkok mestilah memberikan penyadaran bahwa kepentingan nasional dan ideologinya memberikan pijakan dalam bentukan aturan hukum.
Sudah banyak pakar dan ahli yang mengulas tentang hukum dan terorisme, seperti yang diulas oleh Zunyou Zhou di thediplomat.com pada (13/02/2105). Zunyou Zhou adalah Kepala di seksi Tiongkok pada Max Planck Institute for Foreign and International Criminal law dan juga penulis dari Balancing Security and Liberty: Counter-Terrorism Legislation in Germany and China (2014), dia memberikan opininya tentang upaya pemerintah Tiongkok dalam menanggulangi terorisme. Menurutnya apa yang dilakukan pemerintah Tiongkok saat ini sudah cukup bagus namun masih kurang tajam dalam perumusan aturan undang undang anti terorisme.
Seperti yang ditulisnya pada thediplomat.com pada, dia menyebutkan bahwa pada November 2014 lalu, NPC (Kongres Nasional Rakyat), badan legislatif tertinggi di Tiongkok akhirnya menerbitkan rancangan aturan hukum mengenai anti terorisme yang berisi 106 pasal, dimana hal ini dilakukan untuk dijadikan bahan diskusi kepada publik.
Menurut Zhou meskipun mendapat dukungan penuh dari masyarakat di Tiongkok, namun rancangan ini tetap mendapat kritikan tajam dari dunia internasional. Human Right Watch (HRW) menuduh Tiongkok akan menggunakan undang undang ini untuk melegitimasi kejahatan terhadap kemanusiaan dan penyalahgunaan wewenang. Pihak HRW menilai hal ini karena penggunaan definisi teroris dan tindak kejahatan terorisme yang dinilai tidak jelas dan membuka banyak penafsiran.
Evolusi Makna
Dalam opininya dia mengkritisi tentang pemberian definisi terorisme dimana terdapat perbedaan diantara beberapa aturan hukum yang sebelumnya sudah pernah diterbitkan. Dimana pada Desember 2003, Kementerian Pertahanan dan Keamanan menerbitkan daftar teror versi Tiongkok, dengan menyebut empat organisasi teroris dan 11 orang pelaku terorisme. Kepolisian negara di Tiongkok juga telah mengumumkan kriteria untuk merumuskan suatu bentuk organisasi teroris dan pelaku terorisme. Kriteria yang dirumuskan oleh kepolisian ini lebih didasarkan pada regulasi tentang administrasi dan bukan mengacu sebagaimana dirumuskan oleh parlemen.
Lalu pada Oktober 2011, Standing Committee NPC menyelesaikan suatu keputusan yang disebut sebagai keputusan untuk penguatan kerja anti terorisme. Meskipun hal ini sebenarnya jauh dari perumusan penuh tentang undang undang anti terorisme, namun keputusan ini mengandung delapan pasal yang menyusun tentang dasar hukum untuk kerja anti terorisme di Tiongkok. Dengan kata lain, proses legislasi telah menyusun definisi tentang terorisme, organisasi teroris dan pelaku terorisme.
Zhou juga berpendapat bahwa upaya penerbitan undang undang anti terorisme nampaknya juga dipicu oleh peristiwa serangan di Tiananmen Square pada Oktober 2013. Pemerintah Tiongkok berusaha merumuskan secara komprehensif undang undang anti terorisme untuk menghadapi situasi terkini. Namun nampaknya rancangan undang undang ini tidak mengadopsi perumusan definisi sesuai keputusan yang diterbitkan pada 2011 lalu. Menurut rancangan undang undang anti terorisme, pada pasal 104 mendefinisikan terorisme sebagai setiap kegiatan, ucapan, aktivitas yang mengandung pelanggaran, sabotase, ancaman, menimbulkan kepanikan masyarakat, mempengaruhi pembuatan kebijakan nasional, menciptakan kebencian etnis, menumbangkan atau memecah belah kekuasaan negara.
Pasal 104 itu juga mendefinisikan kata aktivitas terorisme yaitu (a) propaganda, dorongan, atau hasutan tentang terorisme; atau (b) membentuk, memimpin atau berpartisipasi dalam organisasi teroris; atau (c) mengorganisasi, merencanakan atau menerapkan aksi terorisme; atau (d) mendukung, membantu, atau memfasilitasi organisasi teroris atau individu terkait penyediaan informasi, pendanaan, bahan baku, peralatan, teknologi atau tempat; atau (e) aktivitas terorisme lainnya.
Organisasi teroris dan pelaku teroris juga masuk dalam definisi pasal 104, yaitu organisasi teroris mengacu kepada organisasi kriminal yang tetap, setidaknya terdiri dari tiga orang, didirikan dengan tujuan untuk melakukan aktivitas terorisme sedangkan pelaku terorisme didefinisikan sebagai anggota organisasi teroris yang melakukan kegiatan terorisme.
Perbandingan Perspektif
Zhou juga memberikan pandangan lebih lanjut tentang perbedaan perspektif dalam perumusan undang undang anti terorisme. Menurutnya harus ada perbandingan perspektif dan definisi untuk mengetahui lebih dalam mengenai definisi terorisme dalam rancangan aturan hukum, untuk hal itu juga harus dilihat terlebih dahulu perumusannya secara global.
Hari hari ini, masyarakat internasional tidak menyetujui definisi tunggal tentang terorisme, sebagian masyarakat berpendapat bahwa terkadang seseorang yang dianggap teroris juga dapat dianggap sebagai pejuang kebebasan. Maka dari itu diperlukan konsensus untuk mengadaptasi bermacam pengertian tentang terorisme dalam hukum internasional dan hukum nasional.
Dengan banyaknya definis terorisme, maka akan diambil pengertian yang dirasakan memberi pengaruh penting di dunia sebagai bahan perbandingan. Definisi yang digunakan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) sebagai rancangan yang komprehensif untuk konvensi tentang terorisme internasional, definisi yang dipergunakan oleh Uni Eropa dalam kerangka kerjanya pada 2 Juni 2002 atas upayanya melawan terorisme dan definisi dari pemerintah Amerika Serikat dalam laporan tahunannya di hadapan Kongres Amerika Serikat. Terorisme umumnya didefinisikan dalam empat elemen penting yaitu, kekerasan, target, motivasi dan organisasi.
Pertama, terorisme memerlukan kekerasan sebagai elemen obyektifnya. Kekerasan adalah serangan secara kriminal terhadap situasi tertentu. Dari keempat elemen itu, kekerasan adalah hal yang masih menimbulkan kontroversi. Definisi dari PBB tentang elemen ini yaitu, terhadap kekerasan internasional yang dapat menyebabkan (a) kematian atau menyakiti fisik setiap orang; (b) kerusakan serius terhadap properti publik atau privat atau (c) kerusakan terhadap properti sehingga menyebabkan kerugian secara ekonomi. Definisi Uni Eropa memberikan daftar panjang tentang serangan serius terhadap orang atau properti. Sedangkan menurut pemerintah Amerika Serikat definisinya masih memerlukan pertimbangan dalam penggunaan kekerasan.
Menurut Zhou, hal yang sebaliknya terjadi dalam perumusan definisi kekerasan oleh pemerintah Tiongkok, dalam elemen ini yaitu kekerasan, sabotase dan ancaman tidak menyebutkan jenis serangan secara spesifik. Terkait dengan elemen kekerasan, definisi pemerintah Tiongkok dapat disejajarkan dengan definisi dari pemerintah Amerika Serikat namun lebih meluas pengertiannya daripada definisi dari PBB dan Uni Eropa.
Elemen kedua dari terorisme yaitu adanya target langsung terhadap kekerasan. Secara tradisional, target langsung ini terbatas pada orang. Namun sekarang ini definisi tersebut diperluas sehingga termasuk kepada obyek selain manusia. Dalam definisi PBB dan Uni Eropa, target langsung juga termasuk properti publik dan privat. Definisi pemerintah Amerika Serikat menggunakan kata “non-combatan targets” yang dimaknai sebagai orang yang tidak turut serta dalam peperangan atau dalam kondisi perang. Maka dari itu secara resmi dapat ditafsirkan termasuk juga masyarakat sipil atau personil militer yang tidak berada dalam zona perang. Sedangkan pemerintah Tiongkok, dalam definisinya tidak menyebutkan secara spesifik jenis target langsung.
Elemen ketiga, terorisme secara tradisional didefinisikan sebagai kekerasan dengan motivasi politik maka dari itu definisi secara tradisional memerlukan motivasi politik sebagai elemen subyektifnya. Namun tren hari ini harus dilihat bahwa motivasi politik cukup berpengaruh namun bukan hal yang sangat penting sebagai elemen yang mendasari kekerasan terorisme.
Dalam definisi PBB, motivasi dapat dikategorikan sebagai upaya mengintimidasi populasi atau memaksa pemerintah atau organisasi internasional untuk bertindak abstain terhadap suatu aturan hukum. Sedangkan definisi Uni Eropa menyatakan tentang kegiatan intimidasi kepada populasi secara serius atau memaksakan kehendak kepada pemerintahan atau organisasi internasional untuk bersikap abstain terhadap suatu aturan hukum atau secara serius merusak atau menghancurkan sistem dasar berpolitik, konstitusi, ekonomi atau struktur sosial dari suatu negara atau organisasi internasional.
Menurut Zhou jika dibandingkan dengan definisi dari pemerintah Amerika Serikat yang mendefinisikan teroris sebagai kekerasan dengan motivasi politik, akan terlihat perbedaannya. Pemerintah Amerika Serikat tidak menguraikan secara rinci tentang motivasi, namun sebaliknya, pemerintah Tiongkok memasukkan motivasi yang dapat menyebabkan kepanikan sosial atau mempengaruhi pembuatan kebijakan nasional. Kecuali definisi dari pemerintah Amerika Serikat, ketiga definisi lainnya (PBB, Uni Eropa dan Pemerintah Tiongkok) memisahkan motivasi untuk melakukan intimidasi kepada populasi dari motivasi pemaksaan kepada pemerintah termasuk juga kekerasan tanpa motivasi politik.
Dalam hal yang berkaitan dengan elemen organisasi, perbandingannya dengan masa lalu adalah, jika pada masa lalu kegiatan terorisme dilakukan oleh individu yang bergabung pada organisasi, namun akhir akhir ini muncul istilah “the lone wolf (serigala kesepian)” dimana pelaku tanpa afiliasi dengan organisasi manapun juga dapat melakukan serangan yang merusak dan bahkan lebih merusak daripada yang mewakili suatu organisasi. Terhadap definisi organisasi, pihak PBB, Uni Eropa, pemerintah Amerika Serikat dan Tiongkok tidak memasukkan elemen organisasi.
Terhadap kedua elemen awal yaitu kekerasan dan target, definisi dari pemerintah Tiongkok masih menimbulkan penafsiran terbuka dengan tidak menyebutkan serangan spesifik atau target langsung. Dalam hal yang berkaitan dengan elemen motivasi, definisi pemerintahan Tiongkok tidak menempatkan kata pembatasan seperti “paksaan, “secara serius” untuk memisahkan kegiatan terorisme sehingga berbeda dengan kejahatan serius lainnya. Dari semua definisi tersebut, hanya definisi pemerintah Tiongkoklah yang paling luas pemaknaannya.
Menurut penilaian Zhou, terdapat kejanggalan atau keanehan tentang definisi yang dirumuskan pemerintah Tiongkok mengenai terorisme termasuk juga tidak hanya pada terminologi aktivitas namun juga terminologi pemikiran dan ucapan. Bagaimana suatu ucapan dapat diberikan label teroris? Bagaimana seseorang yang tidak melakukan kegiatan dapat dihukum berdasarkan pemikiran atau ucapan?
Definisi yang menyesatkan ini mungkin karena perumus undang undang bermaksud untuk menangkap maksud penyebaran terorisme berdasarkan pemikiran atau ucapan namun gegabah dalam merumuskan terminologinya. Faktanya, penyebaran pemikiran tentang terorisme atau ucapan adalah propaganda, paksaan atau penghasutan sudah didefinisikan dalam aktivitas terorisme.
Keamanan atau kebebasan
Terhadap jaminan kemanan warga negara atau kebebasan warga negara, Zhou dengan singkat menguraikan bahwa terdapat sekian banyak definisi tentang terorisme secara universal dan komprehensif, namun tiap negara berhak merumuskan terminologi dalam undang undang untuk kepentingan mereka. Jika dibandingkan dengan sistem barat yang liberal, Tiongkok mempunyai keleluasaan untuk melawan terorisme secara efektif, namun mungkin bisa juga dianggap represif. Akan tetapi, apapun yang dilakukan pemerintah Tiongkok untuk melawan terorisme, mereka juga menghadapi tantangan untuk menyeimbangkan antara keamanan dan kebebasan warga negara.
Sebelum menyelesaikan undang undang anti terorisme, pembentuk undang undang di Tiongkok perlu melihat lebih dalam mengenai definisi terorisme guna menjamin bahwa terorisme dijelaskan sebagai kejahatan yang serius dengan mempertimbangkan aspek kepentingan internasional dan perlakuan yang keras dalam melawannya. Lebih lanjut, prosedur keamanan terkait daftar teror harus diperkenalkan untuk meyakinkan bahwa definisi terorisme tidak mencakup hal yang tidak beralasan jika berkaitan dengan orang sebagai subyek. Karena jika terjadi sesuatu terhadap orang sebagai subyek terorisme dan disangkakan tidak dengan alasan yang jelas maka akan berbahaya dan bersinggungan dengan Hak Asasi Manusia.